Minggu, 21 Juli 2019

Bahasa Daerah: Warisan yang Hampir Hilang

Oleh: Febi Junaidi

Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk bukan dari keseragaman melainkan dari adanya keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika tentunya tidak akan pernah ada tanpa adanya berbagai perbedaan di bangsa ini. Bangsa Indonesia tentunya terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis. Tiap kelompok etnis tersebut mempunyai bahasa daerah masing-masing yang digunakan untuk berkomunikasi sesama suku. Bahasa tersebut memegang peranan penting dalam setiap bidang kehidupan karena dengan bahasa dapat diungkapkan atau disampaikan isi pikiran penuturnya. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting peranannya sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan maksud dan pokok pikiran.
Selain memiliki peran sentral sebagai alat komunikasi dalam suatu lingkup etnis tertentu, bahasa daerah juga memiliki peran sebagai salah salah satu wahana internalisasi nilai pendidikan karakter anak bangsa. Oleh karena itu, kehadiran berbagai bahasa daerah di suatu lingkungan masyarakat tentunya menjadi kekayaan dan keunikan bangsa ini yang patut dilestarikan. Berkat bahasa daerah yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa nasional, kita bisa mengetahui tentang berbagai kebudayaan masyarakat Indonesia seperti legenda, dongeng, dan berbagai cerita masa lalu yang lain. Kita tidak hanya sekadar tahu tetapi juga diajarkan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu tentang apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat. Semua terkandung di dalam cerita-cerita tersebut. Pada akhirnya, kita juga mengerti arti dari nilai yang baik dan nilai yang tidak baik. Hal ini mengindikasikan bahwa bahasa daerah memiliki sumbangsih dalam menginternalisasikan nilai karakter terhadap anak bangsa.
            Contohnya saja cerita rakyat suatu daerah, tarian adat, atau pun foklor lisan lainnya yang mana mayoritas melibatkan bahasa daerah di dalamnya. Hal ini sebagai bukti bahwa bahasa daerah ternyata mempunyai kontribusi yang besar terhadap keberlangsungan kebudayaan suatu bangsa. Benar adanya apabila bahasa daerah hilang berarti kearifan lokal yang ada pada suatu masyarakat juga akan hilang. Kita tidak akan pernah mengetahui adanya dongeng tentang Sangkuriang, Malin Kundang, Joko Tarub, Legenda Roro Jonggrang, Tangkuban Perahu, dan cerita tentang Si Kabayan jika tidak ada bahasa daerah yang berperan di sana. Kita juga tidak mengetahui kalau di dalam setiap cerita itu menyimpan nilai-nilai kearifan lokal dan nilai karakter yang tidak sedikit jumlahnya.
Akan tetapi, kondisi bahasa daerah saat ini malah sangat memprihatinkan. Bahasa yang seharusnya menempati ruang yang lebih di tengah kehidupan masyarakat justru tersingkirkan secara perlahan. Data dari kemdikbud menyatakan bahwa banyak bahasa daerah yang ternacam punah bahkan beberapa diantaranya sudah punah. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh kepala badan bahasa kemendikbud, Prof. Dadang Sunendar yang menyatakan bahwa sampai Oktober 2017, bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan. Bahkan, bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum teridentifikasi. Itu karena bahasa di daerah sana belum saling memahami sedangkan bahasa di Pulau Jawa, meskipun berbeda-beda, masih bisa dipahami. Seperti data dari BPS pada tahun 2011 tentang profil bahasa daerah, 79,5 persen penduduk masih berkomunikasi sehari-hari di rumah tangga dengan menggunakan bahasa daerah. Dari tahun 2011 sampai 2017, dari 652 bahasa daerah yang telah didokumentasikan dan dipetakan, baru 71 bahasa yang telah dipetakan vitalitasnya. Dari data tersebut, 19 bahasa daerah terancam punah, 2 bahasa daerah kritis, dan 11 bahasa daerah sudah punah (dikutip dari http://news.liputan6.com/read/3307187/badan-bahasa-11-bahasa-daerah-punah-19-terancamdan-2-kritis).
Kepunahan dan pemudaran bahasa daerah ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kesadaran berbahasa masyarakat yang kian memudar, pengaruh eksistensi bahasa asing, pengajaran bahasa daerah yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia, dan pengaruh kehadiran bahasa alay pada kaum remaja. Maraknya kosa kata baru yang menjadi tren pemuda saat ini tentunya memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan bahasa daerah. Selanjutnya, data di atas menunjukkan bahwa eksistensi bahasa daerah saat ini mengalami penurunan. Bahasa daerah seolah-olah belum memiliki ruang yang layak di rumah sendiri. Kasus ini menggiring para penggiat bahasa, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat untuk melakukan tindakan preventif agar bahasa daerah tetap digunakan dengan bangga oleh masyarakat. Sudah saatnya bahasa daerah digunakan sebagai bahasa ibu di tengah kehidupan masyarakat.
           Bertemali dengan hal di atas, pada dasarnya usaha pelestarian dan pemertahanan bahasa daerah agar dapat digunakan sebagai bahasa ibu bagi masyarakat Indonesia sudah diformulasikan oleh pemerintah Indonesia dalam kebijakan tertentu walaupun belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Usaha yang tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendara, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang mana menempatkan posisi bahasa daerah di atas bahasa asing nyatanya belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Aturan tersebut seakan-akan berlaku hanya untuk penggiat bahasa atau akademisi yang menekuni bidang kebahasaan semata. Pada dasarnya, ada banyak cara untuk mengoptimalkan eksistensi bahasa daerah sebagai upaya pelestariannya untuk menjadi bahasa ibu. Pertama, memaksimalkan pengajaran bahasa daerah di institusi pendidikan. Kedua, membuat kamus bahasa daerah. Hal ini bisa dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah, khususnya badan bahasa yang ada di setiap provinsi. Ketiga, adanya kompetisi yang berkaitan dengan bahasa daerah, seperti mendongeng, pidato, presenter, ataupun menulis cerita rakyat. Keempat, adanya kebijakan dari pemerintah yang mewajibkan untuk menggunakan bahasa daerah pada kegiatan kemasyarakatan atau adat istiadat. Kelima, adanya media lokal yang menggunakan bahasa daerah sebagai sarana menyampaikan informasi. Terakhir, adanya sosialisasi pentingnya menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dari  pemerintah untuk membangun kesadaran berbahasa masyarakat serta sebagai bentuk tindakan solutif pengembalian bahasa daerah menjadi bahasa ibu. Dengan adanya kerjasama berbagai pihak, khususnya masyarakat dan pemerintah, solusi di atas tentunya bukan hal yang mustahil untuk direalisasikan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar