Minggu, 21 Juli 2019

Artikel Bahasa dan Sastra


WACANA BERASAN BEKULE PADA KELOMPOK ETNIK PASEMAH:
ANALISIS FUNGSI BAHASA DALAM KOMUNIKASI SOSIAL

Oleh: Febi Junaidi


Abstrak

            Febi Junaidi, 2014, Wacana Berasan Pada Kelompok Etnik Pasemah:”Analisis Fungsi Bahasa Dalam Komunikasi Sosial”, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu. Pembimbing Utama: Drs. Sarwit Sarwono, M.Hum., dan Pembimbing Pendamping: Dra. Ngudining Rahayu, M.Hum.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskripsikan wujud bahasa berasan bekule pada etnik Pasemah di Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan (2) Untuk mendeskripsikan wujud bahasa berasan bekule pada etnik Pasemah di Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan. Penelitian ini didasari analisis wacana. Bahan-bahan dikumpulkan dengan cara: melakukan pengamatan langsung, wawancara, perekaman, dan pencatatan. Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi: (1) Mentranskripsi data tentang kegiatan berasan bekule. Hal ini dilakukan dengan cara mencatat data kegiatan berasan bekule yang diperoleh dari hasil pengamatan, perekaman dan wawancara kepada informan, (2) Menyeleksi data, semua data tentang berasan bekule diseleksi sehingga terkumpul data yang memang dibutuhkan. (3)Mengklasifikasikan data (4) Menginterpretasikan data (4) Membuat kesimpulan. Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Struktur berasan bekule terdiri atas pembukaan oleh pihak bujang yang ditandai dengan adanya ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini?, isi yang disampaikan pihak gadis yang ditandai dengan pernyataan keputusan kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke, dan penutup oleh kepala desa yang ditandai dengan pernyataan mangke tadi la udim kite sepakati bahwe kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke mangke kite doakah semoge tu due tu rukun damai selalu menjalankan rumah tangge nanti, (2) Bahasa berasan bekule dapat berbentuk kata ganti kami, kite, kamu, dan die, sapaan nama diri, frasa jadilah amu luk itu dan adik sanak dusun laman, kalimat inversi dan pelesapan subjek, dan ungkapan seikat pinggang, negeri due tungguan satu, berat same dipikul ringan same dijinjing dan ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini. (3) Bahasa berasan bekule memiliki fungsi ideasional atau referensial. Hal ini dikarenakan apa yang disampaikan pada kegiatan berasan bekule merupakan representasi dari ide masyarakat bukanlah ide personal. Selain itu, bahasa berasan bekule juga memiliki fungsi interpersonal yaitu berkaitan dengan peran bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial serta mengungkapkan peran-peran sosial.

Kata kunci: Berasan bekule, Fungsi bahasa, Pasemah.















Pendahuluan
            Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang memungkinkan terjadinya interaksi antarmanusia dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa merupakan media komunikasi yang selalu diperlukan oleh manusia untuk menyampaikan pikiran, perasaan, ide dan keinginan kepada orang lain. Dengan adanya bahasa, manusia dapat menjalin komunikasi antarsesama dalam kehidupan sehari-hari.
            Selain digunakan dalam kegiatan berinteraksi antaranggota masyarakat, bahasa juga digunakan dalam kegiatan kebudayaan. Contohnya penutur bahasa Pasemah di kecamatan Kedurang Bengkulu Selatan yang masih menggunakan bahasa Pasemah dalam melaksanakan berbagai kebudayaan. Hal itu merupakan salah satu upaya masyarakat dalam melestarikan bahasa daerah setempat. Penutur bahasa Pasemah tersebut pada dasarnya dibagi menjadi dua penutur yaitu penutur bahasa Pasemah di Kedurang dan di Padang Guci yang sekarang juga sudah termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kaur (Hartaty, 2001: 1).
            Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, bahasa Pasemah masih digunakan dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari maupun dalam kegiatan kebudayaan lainnya di Kecamatan Kedurang dan Padang Guci. Sebagai bahasa daerah, bahasa Pasemah melambangkan nilai sosial budaya daerah yang juga mencerminkan kehidupan masyarakat Pasemah. Oleh karena itu, bahasa Pasemah yang merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional perlu dikaji lebih jauh dan dilestarikan karena bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang hidup sehingga diperlukannya suatu kajian yang mendalam mengenai bahasa-bahasa daerah tersebut
            Salah satu kebudayaan suku Pasemah yang di dalamnya memerlukan bahasa adalah kegiatan berasan. Pada kebudayaan Pasemah, kegiatan berasan ini terdiri atas empat   tahap, yaitu berasan muda-mudi, ngurusi rasan, madui rasan, dan berasan bekule. Kegiatan berasan didasari oleh adanya suatu perkenalan antara bujang dan gadis yang merujuk pada rasa saling        mencintai dan mempunyai keyakinan untuk membina yang lebih jauh, dalam arti ingin meneruskan hubungan tersebut kejenjang pernikahan. Dalam adat Pasemah, hal ini disebut berasan muda-mudi. Setelah pasangan tersebut bersepakat untuk membina hubungan yang serius tentu saja mereka akan saling mengenalkan pasangan ke orang tua masing-masing. Pada masyarakat Pasemah pengenalan tahap pertama kepada orang tua didahului oleh pihak bujang, di mana seorang bujang membawa pasangannya dan mengenalkan pasangan tersebut pada orang tuanya. Selanjutnya begitu juga yang dilakukan oleh si gadis.
            Dalam perkenalan tersebut, tentu saja menghasilkan suatu bahasan atau keputusan dari orang tua kepada pasangan tersebut mengenai apakah perkenalan ini layak dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila keputusan tersebut merujuk ke jenjang penikahan tentu saja di keluarga masing-masing pasangan tersebut akan membicarakannya ke kerabat masing-masing. Dalam pembicaraan kekerabat masing-masing tersebut tentu saja menghasilkan suatu keputusan kapan akan melangsungkan pertemuan keluarga besar antara pihak bujang dan gadis yang akan diwakili oleh beberapa orang dari kerabat masing-masing. Pada kebudayaan Pasemah, kegiatan tersebut disebut ngurusi rasan. Kegiatan ngurusi rasan ini bertujuan untuk memastikan apakah si bujang benar-benar telah menyampaikan keinginannya pada keluarga si gadis.
            Pertemuan antara dua pihak keluarga ini dihadiri oleh dua orang utusan dari calon mempelai laki-laki dan biasanya utusan tersebut adalah kerabat terdekatnya. Pertemuan ini dimaksudkan untuk memastikan rencana calon mempelai laki-laki untuk menikah dengan calon mempelai perempuan tersebut. Dalam pertemuan ini, utusan dari calon mempelai laki-laki bertanya kepada bapak calon mempelai perempuan tentang barang yang telah diberikan si bujang tersebut. Setelah itu, orang tua calon mempelai perempuan pun menanyakan hal tersebut kepada anak gadisnya. Setelah semuanya pasti, pihak bujang menanyakan kepada orang tua si gadis mengenai hal-hal yang mereka butuhkan dalam melaksanakan pernikahan nanti. Biasanya pihak perempuan menginginkan sejumlah uang tertentu untuk biaya pesta pernikahan. Orang tua bujang pun biasanya menyanggupi hal itu dan berjanji akan mengantarkan uang tersebut pada beberapa malam berikutnya.
            Beberapa malam berikutnya, utusan dari pihak bujang datang kembali ke rumah gadis itu. Dalam hal ini, orang tua sang gadis telah memanggil beberapa kerabatnya untuk menyambut kedatangan mereka. Dalam kesempatan inilah pihak bujang memberikan uang permintaan kepada pihak gadis tersebut. Dalam kebudayaan Pasemah, kegiatan ini disebut madui rasan. Biasanya komunikasi pada suasana ini penuh dengan basa basi. Setelah jamuan makan, kedua belah pihak keluarga bersepakat tentang segala persyaratan perkawinan baik tata cara adat maupun tata cara agama islam. Pada kesempatan itu pula ditetapkan kapan hari berlangsungnya pernikahan.
            Setelah segala sesuatunya sudah ditetapkan. Maka, sampailah pada acara pernikahan. Namun, sebelum diadakan acara pernikahan, dalam kebudayaan Pasemah terdapat satu jenis berasan lagi, yaitu berasan bekule. Berasan bekule ini bertujuan untuk menetapkan tempat tinggal pasangan     tersebut setelah menikah nanti. Pada kebudayaan Pasemah terdapat dua kule, yaitu kule raje-raje belapik emas dan kule raje-raje dide belapik emas. Kule raje-raje belapik emas mengharuskan si bujang tinggal di rumah gadis atau dikenal dengan istilah ambik anak. Sedangkan kule raje-raje dide belapik emas, pasangan tersebut bebas memilih tempat tinggal sesuai dengan yang mereka inginkan, baik di rumah bujang, di rumah gadis, ataupun merantau ke daerah lain. Pada masyarakat Pasemah khususnya Kedurang, saat ini biasanyamenggunakan kule raje-raje dide belapik emas. Berikut contoh penggunaan bahasa pada kegiatan berasan bekule.
PB       :Assalammualaikum.warrahmatullahi            wabarakatuh. Adik sanak Simpang     Tige     sekalian nga sape kire-kire   aku manggurka cerite kami ni?           karene amu ku pandang          memang la alap gale, la ringkih gale     (sambil melihat ke kiri dan ke kanan).            Anye amu        gegalenye tini, ndik     kah ketauk’an nga aku. Nah, kire-kire       adik sanak sekalian nga sape tauk     aku nyampaika cerite ini?
            “Assalammualaikum warrahmatullahi             wabarakatuh. Adik sanak Simpang    Tiga sekalian             dengan siapa kira-kira             penulis menyampaikan cerita kami     ini? karena kalau dilihat memang             sudah bagus semua, sudah elok          semua (sambil melihat ke kiri dan ke kanan). Tapi kalau samuanya, tidak          akan kelayanan dengan penulis. Nah,             kira-kira adik sanak sekalian dengan siapa penulis menyampaikan cerita ini?
AS       : Ngah jeme yi di damping kamu tula.
            “Dengan orang yang di dekat dengan              kamu itulah”.
            Dari percakapan di atas terlihat bahwa bahasa berasan bekule ini memiliki ciri khas dan penuh dengan basa-basi. Dari contoh kutipan di atas terlihat bahwa bahasa berasan bekule ini  diawali dengan salam sebagai pengantar pembicaraan serta diawali juga dengan pertanyaan kepada siapa pihak bujang akan menyampaikan maksud kedatangnnya. Itulah keunikan kegiatan berasan bekule.
            Oleh karena itu, berasan bekule merupakan suatu kebudayaan yang harus dilestarikan karena memilki keunikan yang merupakan identitas masyarakat setempat. Keunikan dari berasan dapat dilihat dari bentuk dan penggunaan bahasanya, yakni bahasa dalam kegiatan berasan ini merupakan representasi dari ide masyarakat, bukan ide individu sehingga segala sesuatunya tersusun secara sistematis sehingga bahasa berasan bekule perlu dilestarikan karena memiliki fungsi sebagai media komunikasi adat.
            Penelitian kebudayaan dan bahasa Pasemah ini sebelumnya  telah ada. Dalam penelitian tersebut, Hartaty (2001) mengkaji bentuk dan makna bahasa berasan di daerah Padang Guci. Namun, Ia meneliti pada kegiatan berasan pada tahap berasan muda-mudi, ngurusi rasan, dan madui rasan. Dalam penelitiannya, Hartaty menyimpulkan bentuk bahasa yang ditemui saat berasan sangatlah khas. Kekhasannya berupa sering munculnya suatu kata yang mempunyai makna berbeda pada saat di luar konteks berasan. Sedangkan makna bahasa yang ditemui saat berasan ada empat, yaitu makna idiomatik, makna konstruksi, makna leksikal, dan pragmatik. Satria Adi Pirnawan (2012) meneliti tentang bahasa bejerum (mengundang secara lisan) pada masyarakat Pasemah di Kedurang, Bengkulu selatan. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa bahasa bejeRum ‘mengundang’ memiliki fungsi sebagai ungkapan pernyataan sikap dari penutur, sebagai direktif (mengajak), dan fatik (sebagai media penjalin hubungan sosial yang baik) antara penjeRum ‘pengundang’ dengan keluarga yang diundang. Dari segi makna, bahasa bejeRum ‘mengundang’ memiliki makna konstruksi dan makna kontekstual. Dikaji dari sudut konstruksi, dalam bahasa bejeRum ‘mengundang’ terdapat kata ganti –nye, -e, dan die yang berfungsi sebagai ungkapan kepemilikan, sedangkan dikaji dari segi makna kontekstual, di dalam bahasa bejeRum ‘mengundang’ terdapat frase-frase penanda bahasa bejeRum ‘mengundang’ yang diucapkan penjeRum ‘pengundang’ pada saat kegiatan bejeRum ‘mengundang’ dilakukan yaitu frase jadilah jak disinilah ‘cukup dari sini saja’, dan dide kah lame ‘tidak akan lama’.                                  
            Selain itu, Fitra Youpika (2013) mengkaji tentang tradisi begadisan sebagai media komunikasi sosial bujang dan gadis di Padang Guci. Dalam penelitiannya. dinyatakan bahwa Tradisi begadisan merupakan sarana atau media komunikasi yang melembaga secara sosial bagi bujang dan gadis pada mayarakat Padang Guci untuk mencari pacar atau pasangan kekasih yang masih dilakukan hingga saat ini. Kegiatan begadisan tersebut terdiri atas tiga tahapan yang dilalui yaitu: tahap Negur Gadis, tahap inti (Begadisan), tahap Pamitan. Sedangkan Aspek kebahasaan dalam tradisi begadisan terdapat penggunaan kata sapaan untuk orang yang lebih tua dan orang yang dihormati dengan kata “kaba” yang berarti dirimu dalam bahasa Indonesia diganti dengan kata “kamu” dan  “aku” diganti dengan kata “kami”.
            Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berminat untuk meneliti bahasa Pasemah yang digunakan pada berasan bekule di masyarakat Kedurang. Untuk memperjelas aspek-aspek yang akan diteliti, maka penulis akan membahas dan meneliti mengenai wujud dan fungsi bahasa dalam kegiatan berasan bekule pada masyarakat Pasemah yang akan penulis bahas dalam bab selanjutnya. Dalam penelitian ini, penulis juga akan lebih fokus             pada kegiatan berasan bekule yang ada di Kecamatan Kedurang. Oleh karena itu, guna melestarikan kebudayaan berasan bekule pada masyarakat Pasemah tersebut, dalam penelitian ini penulis mengangkat judul “Wacana  Berasan Pada Kelompok Etnik Pasemah: Analisis Fungsi-Fungsi Bahasa Dalam Komunikasi Sosial”.
Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang didapat adalah :
1. Bagaimanakah wujud bahasa berasan         bekule pada masyarakat Pesemah di   kecamatan Kedurang, Bengkulu         Selatan?
2. Bagaimanakah fungsi bahasa berasan         bekule pada masyarakat Pesemah di   kecamatan Kedurang, Bengkulu         Selatan?
Metode Penelitian
Metode penelitian yang adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada dalam suatu fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa pemerian bahasa yang biasanya dikatakan sifatnya seperti potret dan paparan seperti apa adanya (Sudaryanto,1988:62). Begitu juga pendapat Nazir (1988:63) yang  mengatakan bahwa metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, serta sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran secara objektif tentang bahasa Pasemah pada saat bejeRum secara akurat dan sesuai dengan pemakaian bahasa yang digunakan oleh penuturnya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Berasan Pada Kelompok Etnik   Pasemah
Dalam adat masyarakat Pasemah berasan merupakan suatu proses perundingan antara pihak calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan sebelum melaksanakan pernikahan. Hal yang harus dirundingkan tersebut tentunya sangatlah kompleks. Dari data yang diperoleh, berasan dalam adat masyarakat Pasemah ini terjadi melalui empat tahap, yaitu berasan muda-mudi, ngurusi rasan, madui rasan, dan rasan bekule.
2. Berasan bekule
            Penelitian ini dilakukan di desa Lubuk Ladung (data 1) , Simpang Tiga (data 2), dan Sukarami kecamatan Kedurang Ilir kabupaten Bengkulu Selatan (data 3). Semua acara berasan bekule dan akad nikah ini dilaksanakan di masjid masing-masing desa tersebut. Semua keputusan semua acara berasan  bekule tersebut adalah Semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mana suka, artinya kedua mempelai tersebut nantinya bebas ingin tinggal atau hidup di mana pun. Pada acara berasan bekule ini, pihak bujang datang ke rumah pihak gadis dengan membawa carikan bekule (syarat kegiatan berasan bekule) yang terdiri atas ramuan sirih yang berisi: Gambir, mbaku, sirih tujuh lembar, kapur, pinang, lemang (20 batang dibagi dua ikat), bujang 2 orang, gadis 2 orang, ibu-ibu seorang, dan bapak-bapak seorang. Saat mereka tiba, pihak gadis telah mempersiapkan tempat untuk para tamu adat tersebut untuk berteduh sejenak. Setelah mereka berteduh sebentar, pihak gadis pun mengajak para tamu adat tersebut ke masjid untuk melaksanakan berasan bekule. Dalam adat Pasemah, berasan bekule tersebut mengahasilkan sebuah keputusan tertentu, baik semende raje-raje dide belapik emas, dan semende  raje-raje belapik emas. Kule semende raje-raje belapik emas ini berarti bahwa kedua mempelai tersebut diwajibkan hidup atau tinggal di rumah pihak mempelai perempuan, atau dalam adat Pasemah dikenal dengan istilah ambik anak.



3. Wujud bahasa berasan bekule
            Bahasa berasan bekule pada dasarnya berbentuk percakapan antara pihak bujang dan pihak gadis yang dilaksanakan menjelang dilaksanakannya acara pernikahan. Percakapan tersebut tentunya diwakilkan antara salah seorang yang diutus atau dipercaya baik dari pihak bujang maupun pihak gadis. Berasan bekule ini dipandu oleh seorang pembawa acara. Berasan bekule ini dimulai oleh pihak bujang dan diakhiri oleh kata sambutan dari kepala desa tempat terjadinya pernikahan. Kata sambutan kepala desa tersebut bertujuan untuk mengokohkan kembali keputusan berasan bekule antara pihak bujang dan pihak gadis yang telah dilaksanakan sebelumnya.
 4.3.1   Struktur berasan bekule terdiri atas pembukaan oleh pihak bujang yang ditandai dengan adanya ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini?, isi yang disampaikan pihak gadis yang ditandai dengan pernyataan keputusan kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke, dan penutup oleh kepala desa yang ditandai dengan pernyataan mangke tadi la udim kite sepakati bahwe kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke mangke kite doakah semoge tu due tu rukun damai selalu menjalankan rumah tangge nanti, (2) Bahasa berasan bekule dapat berbentuk kata ganti kami, kite, kamu, dan die, sapaan nama diri, frasa jadilah amu luk itu dan adik sanak dusun laman, kalimat inversi dan pelesapan subjek, dan ungkapan seikat pinggang, negeri due tungguan satu, berat same dipikul ringan same dijinjing dan ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini.
  4.  Fungsi bahasa berasan bekule                                           
                                            Berasan bekule merupakan komunikasi antara dua keluarga yang mana dalam komunikasi tersebut mereka sudah saling mengetahui apa yang akan disampaikan. Hal ini dikarenakan komunikasi tersebut merupakan suatu komunikasi adat yang telah menjadi suatu ciri khas dan konvensi masyarakat setempat. Oleh karena itu, pada dasarnya pihak bujang dan pihak gadis telah mengetahui tujuan dari komunikasi tersebut. Mereka juga sudah mengetahui hal-hal yang akan disampaikan pada komunukasi itu. Keputusan yang diperoleh dari kegiatan berasan bekule juga merupakan keputusan adat yang harus diterima oleh pihak bujang.
                                     Dengan demikian. bahasa berasan bekule ini berfungsi sebagai ideasional yakni untuk merepresentasikan ide suatu masyarakat. Menurut Halliday (dalam Sukino, 2004) fungsi ideasional bahasa berkaitan dengan peran bahasa untuk penggunaan isi, pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia nyata,  termasuk dunia dalam diri kesadaran sendiri. Fungsi ini dilandasi adanya pemikiran bahwa bahasa digunakan untuk mengggambarkan pengalaman.
                                    Fungsi ideasioanal yang dimaksudkan di atas sama halnya dengan fungsi referensial. Menurut Chaer dan Agustina (2004:12) Fungsi referensial bertujuan untuk membicarakan objek yang ada di sekelilingnya. Seperti halnya pada data berikut, penutur membicarakan objek yang ada di sekelilingnya yaitu gadis, bujang, kerebai, dan batin. Saat penutur sedang mengadakan berasan bekule, orang yang dibicarakan tersebut sebenarnya juga terlibat dalam kegiatan berasan bekule. Mereka juga mendengar langsung percakapan antara pihak gadis dan pihak bujang tersebut sehingga seluruh yang hadir dalam kegiatan ini mengetahui keputusan yang akan disepakati. Meski demikian, apa yang disampaikan tersebut sebenarnya telah terencana sebelumnya. Hal ini dikarenakan susunan komunikasi berasan bekule ini sudah menjadi konvensi adat pada masyarakat setempat. Dalam konteks ini, penutur juga telah mengetahui siapa saja yang terlibat dan apa saja yang dipersiapkan pada kegiatan berasan bekule tersebut. Berikut contoh kutipan fungsi bahasa berasan bekule sebagai referensial.


                          PB: …..Mane mengenai carikan itu        kami ni mbatak’I gadis, mbatak          bujang,mbatk’I kerebai, mbatak’I batin. Batinnye nyelah aku, serte                    mbatak buntalan.
                                    “Yang mana mengenai care          carikan itu kami ini membawa            gadis, membawa bujang,            membawa ibu-ibu, membawa       bapak-bapak. Yang bapak-     bapaknya adalah aku sendiri, serta membawa barang             syarat   bekule”.
                                            Berdasarkan adat Pasemah, kegiatan berasan bekule ini memiliki persyaratan tertentu yang disebut dengan istilah care carikan bekule. Care carikan bekule ini adalah persyaratan berasan bekule yang harus dipenuhi oleh pihak bujang ketika akan datang ke rumah gadis. Berasan bekule dalam adat Pasemah memang dilaksanakan di rumah gadis. Hal ini dikarenakan berasan bekule dilaksanakan sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah tersebut lazimnya di rumah gadis. Pelaksaan akad nikah di rumah gadis ini dikarenakan suatu pernikahan tentunya membutuhkan wali. Care carikan bekule yang harus dipersiapkan pihak bujang menurut adat Pasemah adalah ramuan sirih (berisi gambir, mbaku, sirih tujuh lembar, kapur, pinang), lemang (20 batang dibagi dua ikat), bujang 2 orang, gadis 2 orang, Ibu-ibu seorang, dan bapak-bapak seorang. Seperti halnya data di atas, pihak bujang telah menyampaikan care carikan berasan bekule. Pihak bujang telah menyebutkan care carikan berasan bekule yang terdiri atas bujang, gadis, kerebai dan batin. Sementara itu, kata ‘buntalan’ pada kutipan di atas mengacu pada benda-benda lain seperti ramuan sirih dan lemang. Ramuan sirih tersebut berguna sebagai lambang penghormatan terhadap pihak gadis. Selain itu, Hal tersebut mengandung makna dengan adanya ramuan sirih tersebut diharapkan pernikahan kedua pengantin nantinya bertahan lama hingga usia senja layaknya sepohon sirih yang menjulang tinggi menyatu dengan pohon lain. Sedangkan lemang tersebut mengandung makna agar dua keluarga tersebut (keluarga laki-laki dan keluarga perempuan) menyatu seperti layaknya serumpun bambu. Pemisahan ikatan lemang yang menjadi dua ikat tersebut diibaratkan dengan dua keluarga. Sedangkan gadis, bujang, bapak-bapak, dan ibu-ibu tersebut hanya sekedar pendamping pengantin. Namun demikian, bapak-bapak tersebut bertugas menyampaikan berasan bekule kepada pihak gadis nantinya.
                                            Selain fungsi ideasional atau referensial, bahasa berasan bekule juga memiliki fungsi interpersonal yaitu berkaitan dengan peran bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk mengungkapkan peran-peran sosial termasuk peran komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu Halliday (dalam Sukino, 2004).                   Contoh fungsi interpersonal bahasa berasan bekule adalah sebagai berikut.       .          
          
           PB: Au nyela luluk beulang tadi, amu                 kami tu kah nerime gale. lukmane      kina keputusan nanye kami terime.          Cuma di dalam nerime, yak ade tini   ye kami larang. Ye dide kami terime        seghuma ndik setangge.
               ‘Ya seperti yang kami katakan tadi,   kalau kami akan nerima semuanya.     Apapun keputusannya, kami terima.         Cuma walaupun nerima, Ada yang     tidak kami harapkan. Yang tidak                    kami terima satu rumah beda tangga.
                 Pada kutipan di atas, pihak bujang mengatakan akan menerima apapun keputusan berasan bekule yang akan diberikan oleh pihak gadis. Namun demikian, pihak bujang tidak menginginkan satu hal yaitu ‘satu rumah beda tangga’. Ungkapan ini mengandung makna adanya pertentangan antara bujang dan gadis nanti ketika             menjalankan rumah tangga. Beda tangga pada ungkapan tersebut berarti adanya perselisihan atau perbedaan persepsi antara mereka sehingga rumah tangga tersebut nantinya tidak akan berjalan dengan harmonis. Oleh karena itu, ungkapan tersebut pada dasarnya berlaku secara universal bagi semua orang tua terhadap pernikahan anaknya. Tidak ada orang tua yang menginginkan terjadinya perselisihan terhadap rumah tangga anaknya. Semua orang tua tentunya mengahrapkan anaknya membentuk keluarga yang rukun dalam menjalankan rumah tangga.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
            Yang pertama, kegiatan berasan  pada masyarakat Pasemah merupakan suatu wacana karena berasan adalah suatu proses komunikasi antara pihak bujang dan pihak gadis yang memiliki tujuan tertentu. Berasan pada masyarakat Pasemah terdiri atas empat tahap, yaitu tahap berasan muda-mudi, ngurusi rasan, madui rasan, dan berasan bekule. Keputusan berasan bekule dalam adat Pasemah terdiri atas dua jenis yaitu semende raje-raje dide belapik emas dan semende raje-raje belapik emas. Namun, masyarakat Pasemah biasanya menggunakan semende raje-raje dide belapik emas.
            Kedua, struktur berasan bekule terdiri atas pembukaan oleh pihak bujang yang ditandai dengan adanya ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini?, isi yang disampaikan pihak gadis yang ditandai dengan pernyataan keputusan kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke, dan penutup oleh kepala desa yang ditandai dengan pernyataan mangke tadi la udim kite sepakati bahwe kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke mangke kite doakah semoge tu due tu rukun damai selalu menjalankan rumah tangge nanti,                   Wujud bahasa berasan bekule terdiri atas: penggunaan kata ganti kami, kamu, die, kata sapaan dengan nama diri, frasa jadilah amu luk itu dan variasinya, frasa adik sanak dusun laman, ungkapan ngah sape badah aku manggurka cerite ni, negeri due tungguan satu, seikat pinggang, berat same dipikul ringan same dijinjing, seghuma ndik setangge, kalimat inversi dan pelesapan subjek.
            Ketiga, Pada kegiatan berasan bekule, bahasa memiliki fungsi ideasional atau referensial yaitu untuk merepresentasikan ide masyarakat dan membicarakan objek yang ada di sekelilingnya dan fungsi interpersonal yaitu berkaitan dengan peran bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk mengungkapkan peran-peran sosial termasuk peran komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu.


Saran
            Penelitian ini hanya membahas mengenai wujud dan fungsi bahasa saat berasan bekule pada masyarakat Pasemah di Kedurang Bengkulu Selatan. Penulis mengharapkan adanya penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan bahasa saat berasan bekule khususnya pada bidang, aspek, dan ruang lingkup lain yang belum penulis bahas dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agni, Binar. 2002. Sastra Indonesia   Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publising.
Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar          Komposisi Bahasa Indonesia.             Malang: A3.
Aziez, Furqanul dan Alwasilah, A. Chaedar.             1996. Pengajaran Bahasa      Komunikatif. Bandung:             PT        Remaja Rosdakarya .
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik      Bahasa Indonesia. Jakarta: PT            Rineka Cipta.
Chaer, A. dan Agustina, L. 2004.       Sosiolinguistik Perkenalan Awal.        Jakarta: PT Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2007. Analisis Wacana   Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Darmastuti, Rini. 2006. Bahasa Indonesia     Komunikasi. Yogyakarta: Gava          Media.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.    1993. Tata Bahasa Baku Bahasa        Indonesia. Jakarta:      Balai Pustaka.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Wacana          Pemahaman dan Hubungan   Antarunsur.     Bandung: PT             Refika Aditama.
Hartaty, Rili. 2001. Bahasa Besemah Saat     Berasan Pernikahan. Skripsi. Universitas Bengkulu.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa.            Jakarta: PT Gramedia Pustaka            Utama.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa.     Jakarta: PT Raja Grafindo.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta:         Ghalia.
Parera, J.D. 2009. Dasar-Dasar Analisis        Sintaksis. Jakarta: Erlangga..
Rahardi, R. Kunjana. 2008. Pragmatik          Kesantunan Imperatif Bahasa             Indonesia.        Jakarta: Erlangga.
Samsuri. 1975. Analisis Bahasa. Jakarta:        Erlangga.
Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan   Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik.            Yogyakarta: Gadjah Mada University            Press.
Sukino. 2004. Memahami Wacana Bahasa    Indonesia. Bengkulu: Unib Press.
Sumadi. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia.    Malang: A3.