Sabtu, 08 Juli 2023

BETERI YANG BAIK HATI (CERITA RAKYAT KEDURANG BENGKULU)

 

SINOPSIS

Beteri merupakan anak bungsu yang baik budi. Ia memiliki enam orang kakak perempuan. Keenam kakaknya tersebut dipanggil Sinamnam, atau si Enam. Orantua Beteri dan Sinamnam berwujud kerbau. Namun, perbedaan fisik di antara mereka tidak memutuskan tali kasih. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Namun, semenjak kedua orangtuanya pergi merantau, Beteri mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Sinamnam. Beteri tetap sabar dan menghormati kakaknya. Kesabaran Beteri berbuah manis. Ia pada akhirnya dipersunting seorang pria tampan. Mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah di tepian sawah.  Begitu pun dengan Sinamnam, mereka pada akhirnya menemukan jodoh masing-masing. Akan tetapi, Ketika kedua orangtua pulang ke rumah, Sinamnam lupa dengan orangtuanya. Bahkan, mereka melempari kedua kerbau tersebut dengan beringasnya. Lain halnya dengan Beteri, ia menyelamatkan kedua kerbau tersebut dari siksaan Sinamnam. Kebaikan Beteri akhirnya menjadikan ia menjadi orang dimudahkan rejeki. Beteri mndapatkan harta yang melimpah. Kekayaan tersebut tidak membuat beteri lupa diri. Ia tetap orang yang baik hati dan santun. Melihat Beteri memilki banyak harta, Sinamnam pun menginginkannya. Namun, bukannya harta yang ia dapatkan. Sinamnam justru mendapatkan petaka. Mereka dihujani bebatuan dari pohon yang menjulang tinggi di sebelah makam kedua orangtuanya yang meninggal karena perlakuan mereka. Sinamnam mendapatkan bencana sebagai akibat perbuatan kasar mereka terhadap kedua orangtua, sementara Beteri yang baik budi dan berbakti kepada kedua orangtua mendapatkan balasan  kebaikan dan ketentraman.

 

Dia lah Beteri, putri bungsu dari tujuh gadis nan jelita. Budinya baik, ramah, dan santun. Beteri dikenal dengan gadis yang baik hati serta santun terhadap kedua orangtua. Parasnya juga sangat indah dipandang. Tidak heran jika sapaan beteri sangat membekas pada budaya masyarakat Pasemah di Bengkulu Selatan, khususnya di dua kecamatan, yaitu Kedurang Ilir dan Kedurang Ulu. Kedua kecamatan tersebut merupakan penduduk yang dahulunya berasal dari Sumatra Selatan, lebih tepatnya dari suka Pasemah atau Besemah di Pagar Alam. Tak heran jika adat istiadatnya pun memilki banyak kesamaan dengan penduduk yang mendiami Sumatra Selatan.

Beteri memiliki enam orang kakak perempuan yang juga cantik jelita. Mereka tinggal di sebuah desa yang mana rumahnya jauh dari kehidupan sosial masayarakat yang lainnya. Rumah mereka seperti terasing di dekat lereng bukit barisan yang dipenuhi sawah-sawah nan indah. Lahan sawah tersebut sebagain besar dikelola oleh keluarga Beteri. Orangtuanya yang berwujud kerbau pun sangat baik hati dan penyayang. Walau mereka berbeda secara fisik, kasih sayang anak terhadap orangtua tetap tak terbatas. Mereka saling mencintai dan mengasihi tanpa pamrih. Kedua kerbau tersebut berhati tulus penuh kasih sayang. Mereka sangat mencintai anak-anaknya. Kasih sayang mereka tidak dibatasi dengan wujud fisik. Manusia dan binatang yang saling peduli, saling mengasihi, dan sangat berbahagia. Keluarga tersebut hidup rukun dan damai di tengah bentangan semesta yang memesona.

Beteri berarti putri. Hal ini menunjukkan jiwa seseorang putri yang lembut lagi baik hati. Sementara itu, keenam kakaknya terbiasa disebut Sinamnam. Sinamnam berarti enam. Sinamnam adalah sapaan Beteri kepada keenam kakaknya.Sinamnam juga sangatlah kompak. Hal ini lah yang membuat mereka Sinamnam atau si enam saudara. Keenamnya juga  menyayangi Beteri sebagai adik bungsu mereka. Mereka juga patuh dengan perintah orangtua. Tak terdengar mereka membantah nasihat dan petuah yang disampaikan kepadanya. Bagi mereka, kedua orangtua adalah suri tauladan yang harus dituruti. Begitu pun orangtuanya, mereka tak pernah membedakan semua anaknya. Kasih tulusnya tercurahkan untuk semua buah hati yang diasuh dan dibesarkannya. Tanpa batas, tanpa membedakan, bagai sinar sang raja siang untuk alam semesta. Sungguh, keluarga ini sangat damai dan penuh kebahagiaan. Hubungan antaranggota keluarga begitu akur sehingga kehidupan mereka terlihat sangat menentramkan.

Ketujuh bersaudara tersebut adalah Jenanta, Jenintin, Jenanti, Jerita, Jeriti, Jerina, dan Beteri. Kemiripan nama dari keenam saudari Beteri tersebut membuat mereka kian kompak satu sama lain. Mereka bagai saudari kembar. Selalu selaras dalam hal berpakaian, bepergian, dan perilaku. Itu lah Sinamnam dengan berbagai keunikannya.

Suatu hari sepasang Kerbau yang merupakan orangtua tujuh gadis cantik tersebut berpamitan untuk merantau. Tampak raut wajah mereka sedih meninggalkan ketujuh anaknya. Semua anaknya termangu pertanda siap menyimak setiap kata yang akan disampaikan. Raut wajah cantik ketujuh gadis itu penuh kebingungan dan penasaran. Mereka menoleh satu sama lain. Tidak ada yang tahu tujuan kedua orangtuanya memanggil mereka untuk berkumpul di ruang tamu. Kesunyian malam kala itu menambah rasa penasaran mereka. Cuaca dingin dan angina malam pun ikut berkerumun. 

Dengan berat hati, Sang Ibu pun mencoba menyampaikan maksudnya mengumpulkan ketujuh anaknya di rumah gubuk bambu itu. Rumah tua di tepi sawah yang dibangun sepasang sejoli tatkala mereka masih muda dan kuat. Mereka dengan sengaja memilih bertempat tinggal di dekat persawahan. Hal ini untuk memudahkan mereka bekerja. Melunyah atau membajak sawah, menggeburkan tanah, mengelola sawah adalah rutinitas yang mereka lakukan. Berkat kerja keras mereka, sawah itu pun sangatlah produktif, menghasilkan padi yang sangat banyak. Lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuni rumah.

Lahan sawah pun kian subur karena mereka senantiasa melunyah sebelum menanam padi. Melunyah biasanya dilakukan pada malam hari. Kedua kerbau tersebut mengelilingi lahan persawahan berkali-kali. Aktivitas ini berhasil membuat tanah sawah menggembur penuh lumpur dan lebih subur. Tanahnya bergulungan dan sebagaian membentuk lacak (lumpur halus). Hal ini dilakukan setiap kali akan menanam padi. Lamanya melunyah sekitar dua minggu untuk sebidang sawah. Kerja keras ini mendatangkan kehidupan yang lebih makmur dengan adanya hasil panen yang melimpah.

Sang Ibu  pun tak kuasa menyampaikan kata-kata. Ia menyadari bahwa apa yang akan disampaikan akan menhadirkan rasa sedih terhadap anak-anaknya. Ia pun menunduk pilu. Di satu sisi, ia menyadari akan hidup mereka yang tak berkemajuan. Tidak ada harapan untuk masa depan yang lebih cerah untuk semua anaknya. Di lain hal, mereka sangat ingin mengubah nasib, membuat masa depan ketujuh anaknya lebih gemilang. Kedua orangtua tersebut tidak menginginkan semua anaknya bernasib sama seperti mereka.

Dengan penuh haru, Sang Ayah memberanikan diri untuk menyampaikan segala maksud mereka pada malam itu.

“Wahai anak-anakku yanmg kami sayangi, kami berdua akan pergi merantau”

“Ke mana Pak, Bu? Bagaimana dengan kami?” sahut ketujuh gadis itu.

“Kami akan merantau ke daerah yang sangat jauh untuk mencari nafkah. Kami akan pergi untuk waktu yang lama. Kalian tetap jaga diri baik-baik di rumah. Kami ingin kalian memilki masa depan yang lebih baik daripada yang kami alami”.

“Ya, Pak, Bu. Kami akan berdiam di rumah. Kami akan memtahu perintah bapak dan ibu”

“Jika ada pemuda yang ingin menikahi kalian. Silakan kalian terima saja. Tidak usah menunggu kepulangan kami berdua. Kalian sudah cukup dewasa.” sahut kedua kerbau tersebut.

“Ya, Pak, Bu. Kami akan merindukan bapak dan ibu. “ Jawab ketujuh putri mereka serentak dengan wajah Nampak sedih karena akan ditinggalkan kedua orangtua mereka pergi.

“Sabar, anak-anakku. Kami pergi untuk kembali.”

“Baiklah, Pak. Kami akan menunggu”

Ketujuh gadis itu diam dan saling berpandangan. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan. Hal ini tentunya akan membuat mereka untuk berlatih lebih mandiri. Mereka mencoba untuk kuat dan mengikhlaskan kedua orangtuanya pergi merantau.

Keesokan harinya, kedua orangtua mereka berpamitan untuk pergi. Mereka saling berpelukan. Sangat erat dan penuh kasih. Tangis pun tak kuasa untuk dibendung. Dengan adanya saling pengertian satu sama lain serta demi masa depan yang lebih cerah, mereka akhirnya saling mengikhlaskan diri. Kedua kerbau tersebut pun akhirnya berlangkat merantau. Mereka melewati persawahan, hutan, dan perbukitan. Lambat laun ledua orangyuanya pun hilang dimakan jarak. Kedua kerbau itu hilang dalam pandangan. Mata mereka hanya melihat tinjak bekas telapak kaki orangtuanya tersebut. Wujud dua makhluk itu sungguh tak terlihat lagi oleh mata. Jauh. Hilang dari tajamnya pandangan.

Setiap hari ketujuh putri cantik tersebut menunggu kepulangan kedua orangtuanya. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka menunggu namun ayah dan ibunya tak kunjung pulang. Mereka pun mematuhi petuah dari orangtuanya untuk tetap tinggal di rumah. Mereka hidup bersama-sama dan saling mengasihi. Mereka saling membantu satu sama lain. Beteri juga sangat patuh kepada Sinamnam. Ia tidak pernah membantah apapun yang diperintahkan kepadanya. Dengan semangat dan senyum di wajahnya, ia senantiasa melaksanakan perintah Sinamnam.  ia sangat menghormati Sinamnam. Beteri adalah adik yang penurut. Hal ini lambat laun membuat Sinamnam bersikap semena-mena terhadap Beteri.

Di suatu pagi yang sangat cerah, Sinamnam mengajak Beteri pergi ke hutan untuk mencari buah puar. Buah puar memang banyak ditemui di hutan belantara. Rasanya agak kecut namun nikmat. Puar merupakan tanaman liar yang digemari. Mereka berenam begitu semangat mengajak Beteri. Beteri pun berkeinginan untuk ikut. Hanya saja, ia tidak memiliki keranjang untuk wadah buah puar yang akan diambil serta pisau untuk mengambil buah tersebut. Sinamnam pun tetap mengajak beteri dan berjanji akan meminjami ia keranjang dan pisau. Beteri pun akhirnya ikut serta mencari buah puar ke hutan bersama keenam saudaranya tersebut. Mereka berjalan dari rumah menuju hutan belantara.

Setibanya di hutan, keenam sinam atau Sinamnam sibuk mengambil buat puar. Mereka tertawa bahagia dan saling berebut. Beteri hanya melihat mereka saling berebut satu sama lain. Ia pun berkeinginan untuk mengambil buah puar tersebut. Namun apa daya, ia tidak memilki pisau untuk memotong batang puar yang lumayan keras. Ia Nampak kebingungan. Ia melihat sekeliling. Sinamnam tetap tidak memedulikan. ,ereka sibuk dengan diri masing-masing. Sinamnam tak menoleh ke arah Beteri. Merkea sibuk mengumpukan buah puar dengan mengisi keranjang masing-masing.

Beteri semakin bingung. Ia tak kuasa untuk mematahkan batang puar. Beteri akhirnya memberanikan diri meminjam pisau kepada Sinamnam.

“Kakak, bolehkah saya meminjam pisau? Saya ingin memetik buah puagh juga”.

“Apa? Ingin pinjam pisau? Tidak boleh. Kamu ambil saja sendiri pakai tanganmu”. Jawab Sinamnam dengan ketus.

“Kalau begitu, aku ingin meminjam keranjang untuk wadah buah puarku, Kak”.

“Enak saja, tidak boleh. Kami juga memerlukannya.”

 

Beteri hanya diam membisu. Ia tidak menyangka jika Sinamnam akan berperilaku demikian. Sinamnam mengingkari janjinya. Awalnya mereka berkata bahwa akan meminjami adiknya pisau dan keranjang, nyatanya semua hanya dusta. Beteri yang periang menjadi sedih. Ia berpikir sejanak lalu berusaha untuk berprasangka baik. Ia tidak kehilangan akal. Diputarnya batang puar sekuat tanaga untuk mendapatkan buahnya.

Beteri berhasil mengambil buah puar dengan menggunakan tangannya. Sesekali Nampak ia menggigit batang puar. Diletakkannya buah yang didapat ke dalam selendangnya. Ia berupaya dengan keras untuk mendapatkan buah puar yang bagus. Berkat sifatnya yang pantang menyerah serta tidak cengeng, lambat laun ia pun mendapatkan buah puar yang elok dan matang. Beteri sangat  riang. Ia berhasil memperoleh buah puar yang banyak.

Sang raja siang mulai bersembunyi. Sinarnya secara perlahan kian meredup. Hari mulai menua. Sore telah tiba. Mereka bertujuh berkeinginan pulang. Mereka berhenti mengambil buah puar. Sebelum sampai ke desa, mereka ingin mencuci terlebih dahulu buah puar yang telah didapat. Beteri pun ikut serta dengan Sinamnam ke air pematang. Aliran sungai yang bersih dan dingin itu sangat menyegarkan. Suara air gemericik menentramkan hati. Mereka tak lupa membersihkan muka dengan mengusapkan air tersebut. Aliran air itu berasal dari pegunungan bukit barisan.

“Beteri kamu cuci buahmu di hilir. Kami di hulu” Kata Sinamnam.

“Baik, Kak”. Jawab Beteri tanpa ragu.

Sesuai kemauannya, Sinamnam mencuci buah puar di hulu dan Beteri mencuci buah puar miliknya di hilir. Hal ini membuat buah puar milik Beteri dicuci dengan air yang sedikit kotor karena bekas cucian Sinamnam di wilayah hulu. Ia tetap sabar dan mencoba membersihkan buah miliknya dengan teliti. Beteri tidak sedikit pun menggerutu ataupun mengeluh. Ia sangat sabar dan tetap tersenyum. Ia sangat menyayangi Sinamnam. keenam kakaknya itu tetap ia hormati.

Semengtara itu, Sinamnam mencuci buah puar dengan penuh semangat. Kebanyakan buah puar yang mereka dapatkan mengapung saat dicuci. Mereka kecewa karena mengira bahwa buah puar tersebut adalah buah yang busuk. Mereka menghanyutkan buah puar tersebut dan hanya mengambil buah puar yang terbenam ketika dicuci. Padahal, buah puar yang mengapung tersebut justru buah yang bagus karena sudah matang sedangkan buah yang terendam ketika dicuci adalah buah yang masih mentah. Beteri akhirnya mengambil buah puar yang dihanyutkan oleh Sinamnam sebab ia berada di paling hilir. Beteri juga mencuci dengan bersih buar puar miliknya.

Beteri kemudian bermaksud untuk memberikan buah puar yang dihanyutkan oleh Sinamnam. ia merasa tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya.

“Kak, ini buah puar milik kakak. Tadi saya ambil saat buahnya hanyut”

“Buah itu sengaja kami hanyutkan. Itu buah busuk. Ambil saja jika kamu menginginkannya” Jawab Sinamnam ketus.

Setelah mencuci buah-buah puar tersebut, Sinamnam mencoba mencicipi buah miliknya. Mereka sangat kecewa sebab buah puar milik mereka sangat asam dan agak pahit.

“Sini buah milikmu, Beteri. Kami mau mencobanya” Ujar Sinamnam kepada Beteri.

“Ini, Kak”. Sahut Beteri.

Ternyata, buah puar milik Beteri sangatlah manis. Mereka akhirnya menghabiskan buah puar milik beteri kemudian menghanyutkan selendang pembungkus buah tersebut ke sungai. Sinamnam pun tertawa dan merampas semua buah puar milik adiknya.

“Kak, jangan hanyutkan selendangku”

“Untuk apa kamu selendang ini”. Sahut Sinamnam seraya melemparkan selendang tersebut ke sungai.

Beteri terlihat sedih dengan tingkah laku keenam kakaknya tersebut. Ia tak sanggup membendung tangis. Sambil menangis, ia pun menelusuri aliran sungai untuk mencari selendangnya. Beteri berharap ia dapat menemukan selendangnya kembali. Ia tidak menyerah mencari selendang tersebut.

 Sementara itu, Sinamnam sudah berjalan menuju rumah. Mereka pulang dengan meninggalkan adiknya dalam keadaan sendirian. Sinamnam sungguh berubah semenjak ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Perilakunya terhadap Beteri kian hari kian kasar. Perubahan ini tentunya membuat Beteri kian sedih walau ia berupaya menutupi sedihnya.

Ketika menelusuri sungai untuk mencari selendangnya yang hanyut, Beteri bertemu dengan seekor rusa tua yang sangat besar dan tinggi. Ia sontak takut kepada Rusa tersebut. Rusa itu tetiba menyapa  Beteri dengan lembut dan penuh kasih. Rusa tersebut penasaran dengan tangis Beteri. Ia merasa iba dengan keadaan gadis itu.

“Kalau aku boleh tahu, siapakah namamu” Tanya Rusa.

“Aku Beteri, wahai Rusa”.

“Mengapa engkau menangis wahai Beteri? tanya Rusa tersebut.

 “Aku mencari selendangku, wahai Rusa. Tadi dihanyutkan oleh Sinamnam di sungai ini, apakah engkau melihatnya?” sahut Beteri.

Rusa pun tersenyum dan berkata,

“Kalau itu yag engkau inginkan, aku akan berusaha untuk membantumu. Pejamkan matamu dan pegang ekorku, Beteri. Aku akan menolongmu’.

Beteri pun mengikuti perintah Rusa tersebut. Ia memejamkan kedua matanya seraya memegang ekor rusa dengan erat. Tak lama kemudian Rusa tersebut meminta Beteri untuk membuka matanya dan melepaskan pegangannya di ekor rusa tersebut. Saat membuka mata, Beteri melihat ada selendang yang sangat indah, pisau, dan juga keranjang. Ia pun sangat bahagia dan berterima kasih kepada Rusa tersebut. Ia sangat takjub dengan pemberian Rusa tersebut. Beteri tidak menyangka akan mendapatkan selendang nan indah itu.

Sebelum Beteri pulang, Rusa pun memerintahkannya untuk mengambil batang puar yang masih muda dengan menggunakan pisaunya dan meletakkan batang puar tersebut berdekatan dengan keranjangnya ketika ia hendak mandi nanti sore. Beteri pun menuruti perintah Rusa. Ia mengambil batang puar yang masih muda dan berdaun hijau. Kemudian, ia pulang ke rumah untuk mandi. Ia menuruti semua perintah Rusa. Ia begitu ingat apa yang harus ia lakukan.

Ketika selesai mandi, Beteri sangat terkejut melihat ada laki-laki tampan di dekat keranjangnya. Laki-laki itu sangat elok rupanya dan juga budi pekertinya. Laki-laki itu pun mengajak Beteri untuk menikah. Beteri pun menerima pinangan laki-laki tampan itu. Laki-laki tersebut akhirnya menjadi suaminya. Mereka sepakat untuk tinggal  di sebuah sawah yang tak jauh dari rumah Beteri. Mereka sengaja memilih tempat tinggal yang tak jauh dari kediaman Beteri sebelumnya. Dengan demikian, Beteri bisa menanti kepulangan kedua orangtua yang sangat dirindukannya.

Kabar pernikahan Beteri pun tersebar luas. Hal ini juga diketahui oleh kakaknya, Sinamnam. Sinamnam merasa penasaran tentang siapa sosok pria yang sudah menikahi adik mereka. Sinamnam pada akhirnya memutuskan untuk menemui Beteri di rumahnya. Beteri mneyambut baik keenam saudarinya tersebut. Sinamnam bertanya kepada Beteri tentang pria yang saat ini menjadi suaminya.

“Beteri, siapakah laki-laki tampan yang menikahimu itu?’

“Saya diberi suami oleh Rusa. Dulu saya bertemu dengan Rusa di sungai saat mencari selendang yang kakak buang”. sahut Beteri.

“Baiklah, Beteri. Kami juga ingin punya suami. Kami akan menemui Rusa di tepi sungai itu”.

Beteri menceritakan bahwa saat mereka menghanyutkan selendangnya ia bertemu dengan seekor Rusa dan ia mengikuti perintah Rusa tersebut sehingga akhirnya ia mendapatkan suami yang baik dan rupawan. Beteri bercerita dengan jujur. Ia menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada Sinamnam.

Sinamnam berencana melakukan hal yang sama. Keesokan harinya, Sinamnam dengan sengaja menghanyutkan selendangnya ke sungai. Mereka juga menangis menelusuri sungai. Sinamnam akhirnya bertemu dengan Rusa. Mereka menceritakan bahwa selendang mereka hanyut di sungai tersebut. Rusa tersebut memerintahkan mereka untuk memegang ekornya dan memejamkan mata. Sinamnam menuruti semua perintah Rusa agar mendapatkan hal yang serupa dengan Beteri.

 Akan tetapi, setelah Sinamnam memejamkan mata, Rusa tersebut berlari dengan begitu kencang sehingga Sinamnam tersebut ikut berlari ke hutan dan pegunungan. Tangan mereka tidak bisa dilepaskan dari ekor Rusa tersebut. Mereka akhirnya memohon agar Rusa berhenti berlari. Rusa pun menuruti kemauan mereka dan memberikan mereka barang-barang seperti yang ia berikan kepada Beteri.

 Sinamnam sangat bahagia karena Rusa memenuhi permintaan mereka. Hanya saja, betapa terkejutnya Sinamnam ketika melihat bahwa selendang yang diberikan kepada Sinamnam tidak sebagus selendang Beteri. Pisaunya juga sudah berkarat dan keranjangnya sudah rusak. Rusa tersebut kemudian memerintahkan Sinamnam mengambil batang puar yang sudah tua dan daunnya sudah memerah di tengah hutan serta memerintahkan mereka untuk meletakkan batang puar tersebut di dekat keranjang ketika mereka hendak mandi. Sinamnam akhirnya tetap mengikuti perintah Rusa tersebut.

Setelah selesai mandi, alangkah kagetnya mereka ketika melihat ada enam orang laki-laki yang sudah tua berdiri di dekat keranjang mereka. Namun demikian, mereka pun tetap menerima. Sinamnam menikah dengan laki-laki yang sudah tua renta. Mereka tinggal di rumah baru masing-masing yang tak jauh dari tempat tinggal Beteri. Ketujuh beradik tersebut sudah hidup bersama suaminya masing-masing dengan tempat tinggal berbaris di tepian sawah.

Ketujuh saudara tersebut menjalani hidup masing-masing bersama keluarganya. Rumah yang dulunya mereka huni kini sepi tanpa ada yang merawatnya. Rumah tersebut  nampak kian lapuk dengan warnanya yang kian memudar dan ditumbuhi rerumputan. Sesekali Beteri datang ke rumah tersebut untuk melihat apakah kedua orangtuanya sudah pulang atau belum. Ia sungguh merindukan kedua orangtuanya yang tak kunjung kembali.

Seiring berjalannya waktu, orangtua mereka tiba di rumah. Mereka kembali dalam keadaan sehat. Mereka juga sangat merindukan Beteri dan Sinamnam. Tetiba orangtuanya sangatlah kaget melihat rumah mereka sudah ditumbuhi tumbuhan liar dan Nampak tak terawat. Dapurnya bahkan telah menjadi sarang burung puyuh. Halaman rumah sudah seperti semak belukar. Orangtuanya pun berteriak memanggil semuan anaknya.

“Jenanta, Jenintin, Jenanti, Jerita, Jeriti, Jerina, Beteri… Di mana kalian, Nak?’’

“Jenanta, Jenintin, Jenanti, Jerita, Jeriti, Jerina, Beteri…”

“Jenanta, Jenintin, Jenanti, Jerita, Jeriti, Jerina, Beteri…”

Berkali-kali mereka memanggil ketujuh anaknya. Tidak ada suara yang menyahut. Tidak ada tawa, canda, dan suara-suara khas ketujuh anaknya yang lama tak ia dengar. Rumah itu hening. Tidak ada tanda-tanda penghuni akan datang menyahut.

 “Anak-anakku di manakah kalian berada? Kalau kalian masih hidup di mana kalian tinggal sekarang? Kalau sudah mati, di mana kuburan kalian? Mengapa kalian meninggalkan rumah kita?” Teriak kedua Kerbau tersebut.

“Anak-anakku di manakah kalian, Nak?

            Sama seperti sebelumnya. Tidak ada suara yang menyahut. Lama dua kerbau tersebut mencari-cari anak-anaknya di sekitar rumah tetapi mereka tidak kunjung menemukannya.liling di sekitar rumah, sang ibu melihat ada tujuh gubuk berbaris di sawah yang tak jauh dari rumah mereka. Ketujuh gubuk tersebut adalah milik tujuh orang putrinya. Gubuk yang paling hilir adalah milik Beteri dan Suaminya. Kedua Kkrbau tersebut akhirnya berlari menuju persawahan itu. Tetiba Jenanta dan suaminya melihat ada Kerbau masuk ke sawah. Mereka berdua memanggil saudari-saudarinya sehingga datanglah Jenintin, Jenanti, Jerita, Jeriti, dan Jerina . Mereka mengusir dua kerbau tersebut dan melemparinya dengan batu sehingga kedua Kerbau yang merupakan orangtuanya sendiri itu mengalami luka-luka yang lumayan parah. Orangtuanya tersebut berlari ke luar sawah dengan tubuh dipenuhi darah.

Mereka akhirnya berlari menuju rumah yang paling hilir yaitu kepunyaan Beteri dan suaminya. Beteri sangat kaget dan sedih melihat kedua orangtuanya mengalami luka-luka. Ia menanyakan penyebab luka tersebut. Orangtuanya pun menceritakan bahwa hal tersebut adalah perbuatan semua kakak Beteri. Beteri pun membersihkan luka-luka di tubuh kedua orangtuanya. Ia mengobati kedua orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Ia dan suaminya juga membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh kedua orangtuanya yang menggigil kedinginan.

Namun, kedua orangtuanya terlihat semakin lemah dan tak berdaya. Orangtuanya mengatakan kepada Beteri dan suaminya bahwa mereka tidak kuat lagi untuk bertahan hidup. Mereka meminta agar dikuburkan dengan layak. Mereka juga menjelaskan bahwa di atas kuburannya nanti akan tumbuh sebatang pohon dan meminta Beteri dan suaminya untuk menjaga serta merawat pohon tersebut. Tak lupa mereka juga berterima kasih kepada Beteri karena sudah berbaik hati dan berbakti kepada orangtua.

Beteri pun menyetujui permintaan kedua orangtuanya. Tak lama setelah perbincangan yang penuh haru itu, ayah dan ibunya meninggal. Beteri dan suaminya sangat merasa kehilangan. Sosok yang lama ditunggu kedatangannya kini sudah terbaring di pangkuannya dalam keadaan tak bernyawa. Beteri merasa kehilangan yang luar biasa. Ia merasa sangat sedih atas kepergian kedua orangtuanya. Beteri dan suaminya pun menguburkan kedua orangtuanya tidak jauh dari gubuk yang mereka tinggali.

Beberapa hari setelah kepergian kedua orangtuanya, Beteri melihat ada tanaman yang tumbuh di atas kuburan tersebut. Ia menjaga dan menyiram tanaman tersebut setiap hari sesuai amanat kedua orangtuanya. Bahkan, walau pun kedua orangtuanya sudah tiada, Beteri tetapi berbakti. Ia tetap mengingat pesan kedua orangtuanya. Ia dan siuaminya menjaga tanaman tersebut hingga tanaman itu tumbuh dan berdaun lebat.

Semakin hari tanaman tersebut semakin tinggi. Tanaman tersebut akhirnya menjadi pohon yang rindang dan berbuah lebat. Buah pohon tersebut ternyata  berupa harta benda seperti emas dan permata sehingga membuat Beteri dan suaminya menjadi kaya raya. Bakti  Beteri kepada orangtuanya mendatangkan kebaikan baginya. Perbuatan baik Beteri terhadap orangtuanya mendatangkan kebaikan untuk dirinya.

Kabar kekayaan Beteri akhirnya didengar oleh keenam kakaknya, yaitu Sinamnam. Mereka langsung mendatangi rumah Beteri dan menanyakan sumber kekayaan tersebut. Beteri pun menjelaskan dengan jujur bahwa kekayaan tersebut berasal dari pohon yang berada di atas kuburan kedua orangtua mereka. Keenam kakaknya sangat senang mengetahui hal tersebut. Mereka berenam bersama para suaminya langsung mendatangi kuburan kedua orangtuanya. Mereka membawa keranjang besar untuk wadah harta yang akan mereka ambi di atas pohon yang tumbuh di pemakaman kedua orangtuanya. Setelah sampai di kuburan kedua orangtuanya, mereka pun langsung menuju pohon yang rindang tersebut. Bukannya mendapatkan emas dan permata, mereka justru dijatuhi bebatuan dari atas pohon tersebut. Mereka semua terluka. Petaka mengahmpiri Sinamnam. bencana dan petaka tersebut merupakan akibat dari perbuatan keji Sinamnam terhadap orangtua dan adiknya. Setiap kejahatan yang dilakukan tentunya akan berakibat buruk untuk diri sendiri.  Sinamnam pada akhirnya meninggal dunia. Itulah balasan yang didapatkan keenam saudari Beteri yang telah berbuat jahat dan durhaka kepada kedua orangtua.

Dengan demikian, selama hidup di dunia, kita harus berbakti kepada kedua orangtua, berbuat baik kepada adik dan kakak, serta berperilaku santun dan jujur kepada sesama. Hal ini karena setiap kebaikan yang kita berikan akan mendatangkan hal baik untuk diri kita esok hari, begitu juga sebaliknya.

 

Febi Junaidi - Awardee LDPP, Mahasiswa S-3 UNS

Febi Junaidi, M.Pd. menyelesaikan pendidikan S-1 pada bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Bengkulu pada tahun 2014 dengan bantuan beasiswa PPA Dikti. Kemudian, kia melanjutkan studi jenjang S-2 di UPI Bandung dengan beasiswa LPDP dan selesai tahun 2018. Sejak 2019 lalu, ia menjadi mahasiswa doktoral di Universitas Sebelas Maret juga dengan bantuan beasiswa LPDP. Ia sangat mencintai bahasa dan sastra Indonesia. Beberapa risetnya tentang pendidikan, bahasa, dan sastra sudah dipublikasikan pada beberapa jurnal nasional dan internasional. Selain aktif kuliah, saat ini ia berupaya produktif dengan menulis dan bergabung pada komunitas Awardee LPDP UNS.