Selasa, 07 Maret 2017

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) BERBASIS BUDAYA



IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BIPA BERBASIS BUDAYA SEBAGAI STRATEGI MENGHADAPI MEA
Febi Junaidi, S.Pd.1, Raisya Andhira, S.Pd.2, Empep Mustopa, S.Pd.3
Mahasiswa S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia1, Mahasiswa S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia UPI2, Mahasiswa S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia UPI3
(febijunaidi@gmail.com1), (raisyaandhira@student.upi.edu2) (empepmustopa70@gmail.com3)

Abstrak
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) sudah mulai meluas baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini merupakan indikasi bahwa bahasa Indonesia mulai diminati di dunia internasional. Ketertarikan orang asing terhadap bahasa Indonesia bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat Indonesia. Apalagi sebentar lagi MEA juga akan mulai diberlakukan. MEA sebenarnya bisa menjadi suatu kesempatan untuk menguatkan eksistensi bahasa Indonesia di dunia internasional. Sudah sewajarnya jika orang asing yang akan menetap dalam kurun waktu yang cukup lama di Indonesa mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Mereka sebaiknya benar-benar dibekali pembelajaran mengenai bahasa dan budaya Indonesia dengan optimal guna memberikan pemahaman yang komprehensif sehingga akan memudahkan dalam menjalin hubungan kerja sama nantinya. Maka dari itu, sudah sewajarnya jika pemerintah Indonesia mengimplementasikan kebijakan mengenai standardisasi penguasaan bahasa Indonesia bagi orang asing yang akan menetap di Indonesia. Pembelajaran BIPA berbasis budaya merupakan salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan sebagai strategi menghadapi MEA. Melalui pembelajaran BIPA berbasis budaya, pembelajar BIPA akan lebih dekat dan tahu mengenai multikultural yang ada di Indonesia sehingga hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kita untuk memperkenalkan kekayaan nusantara dan kearifan lokal Indonesia yang unik dan beragam.
Kata kunci: Pembelajaran, BIPA, Budaya, MEA










  A.            PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang harus dioptimalkan dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat berpikir dengan luas dan rasional. Salah satu bagian penting dalam dunia pendidikan adalah pembelajaran bahasa. Manusia hidup tentunya tidak bisa terlepas dari bahasa. Begitu juga halnya dengan pembeLajaran bahasa Indonesia. Sebagai indentitas bangsa, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan aspek penting yang harus diajarakan guna menguatkan rasa kecintaan generasi muda terhadap bahasa dan budaya Indonesia yang unik dan beragam. Akan tetapi, saat ini pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya diajarkan kepada penutur aslinya melainkan program pembelajarannya sudah mulai meluas hingga ke dunia internasional. Hal ini tentunya berkaitan dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Bahasa tentunya merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan MEA. Penguasaan bahasa yang baik tentunya akan membantu masyarakat untuk berkerja sama antarnegara tertentu karena komunikasi dapat terjalan dengan efektif. Hal ini merupakan hal yang mendasari eksistensi pembelajaran bahasa Indonesia mulai meluas di tingkat internasional. Menurut data dari Pusat Bahasa yang ada di Jakarta, program pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA) telah diselenggarakan sekitar 46 negara yang ada di dunia (Azizah, dkk, 2012:1). Keberadaan MEA menjadi pengingat bagi kita betapa urgennya pemerintah memformulasikan suatu kebijakan khusus tentang penguasaan bahasa Indonesia. Dengan adanya standar khusus tersebut, orang asing diberi kewajiban untuk menguasai bahasa Indonesia dengan baik sehingga akan memudahkan komunikasi serta menjalin kerjasama di era MEA.
Pembelajaran BIPA berbasis budaya merupakan salah satu langkah yang dapat diberlakukan terhadap orang asing yang akan menetap di Indonesia dalam waktu yang relatif lama. Dengan adanya pembelajaran ini, tentunya pembelajar asing akan merasa terbantu untuk mencapai kompetensi dan standar penguasaan bahasa Indonesia yang dipersyaratkan. Tidak hanya itu, pembelajaran tersebut juga akan membekali pembelajar BIPA mengenai keterampilan berbahasa Indonesia dan pengetahuan tentang budaya Indonesia. Hal ini merupakan ranah yang penting untuk dilakukan guna memberikan pemahaman terhadap budaya Indonesia yang beragam sehingga akan membantu pembelajar BIPA dalam berinteraksi dan menyesuaikan diri di bangsa ini. Oleh karenanya, konten pembelajaran BIPA sebaiknya memuat penanaman nilai-nilai budaya Indonesia beserta keunikannya. Pembelajaran BIPA tidak hanya ditujukan agar pembelajar menguasai bahasa verbal semata melainkan konsep budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang juga merupakan komponen penting untuk diketahui oleh pembelajar asing.
Dengan adanya pembelajaran BIPA berbasis budaya tersebut, diharapkan akan membantu proses internasionalisasi bahasa dan budaya Indonesia, khususnya di tingkat Asean. Pembelajar BIPA dapat mengenal bahasa dan budaya Indonesai dengan baik sehingga akan menjadi bekal bagi mereka untuk menetap di Indonesia. Pembelajaran yang dirancang seperti tersebut tentunya juga akan memberikan sumbangsih dalam memperkenalkan serta memberikan pemahaman tentang bahasa serta budaya Indonesia yang unik di mata dunia internasional. Dengan demikian, pembelajar BIPA setidaknya tidak hanya menguasai kaidah bahasa Indonesia semata tetapi dapat berkomunikasi dengan baik dan benar sesuai dengan konteks bangsa Indonesia yang multikultural. Hal ini sangatlah penting dikarenakan konteks kultur Indonesia dengan beberepa negara Asean yang lainnya tentunya mendapat perbedaan-perbedaan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut, maka saya tertarik menulis makalah dengan judul “Implementasi Pembelajaran BIPA Berbasis Budaya Sebagai Strategi Menghadapi MEA”

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang didapat adalah “Bagaimana imlementasi pembelajaran BIPA berbasis budaya sebagai strategi menghadapi MEA?”

3.      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui imlementasi pembelajaran BIPA berbasis budaya sebagai strategi menghadapi MEA.

4.      Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai referensi bagi instruktur atau pengajar BIPA agar memuat unsur budaya dalam pengajaran BIPA guna memberikan pemahaman yang utuh mengenai bahasa dan budaya Indonesia terhadap pembelajar asing.

  B.            PEMBAHASAN
1.      Bahasa dan Budaya
Brown (dalam Supardo, 1988:29) menyatakan bahwa bahasa memiliki hubungan yang erat juga dngan kebudayaan. Kebudayaan merupakan bagian yang integral pada intraksi antara bahasa dan pikiran. Pola kebudayaan, adat-istiadat, dan cara hidup manusia dinyatakan dngan bahasa. Pandangan dunia yang khas dinyatakan dalam bahasa. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Aslinda dan Syafyahya (2010: 11) bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin  di dalam bahasa. Sementara itu, Chaer dan Agustina (2004: 165) menyatakan bahwa hubungan bahasa dan kebudayaan adalah hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun, hal ini bukanlah satu-satunya konsep yang utama, sebab ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat atau sama tingginya. 
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat kita pahami bahwa bahasa memiliki peranan dalam suatu kebudayan karena pada dasarnya suatu kebudayaan akan diekspresikan melalui bahasa, terlepas dari pola hubungan keduanya. Ketika kita membicarakan keadaan suatu masyarakat, pada dasarnya sebagian besar yang kita bicarakan adalah mengenai budaya. Misalnya saja ketika kita menyaksikan tradisi atau adat istiadat suatu masyarakat di daerah tertentu,, bilamana kegiatan tersebut melibatkan bahasa di dalamnya, tentunya pemeran akan menyampaikan atau mengkomunikasikan ide-ide yang bersifat universal yang mana merupakan identitas masyarakat setempat. Begitu juga halnya ktika kita melakukan proses pemblajaran bahasa Indonesia bagi pnutur asing, secara implisit kita sebenarnya sudah mngajarkan budaya Indonesia kepada orang asing sebab bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pndapat Pamungkas (2012:16) menyatakan bahwa bahasa indonsia brfungsi sbagai bahasa pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam menjaring kebutuhan pengembangan kebudayaan, pengetahuan, dan teknologi yang dapat menjangkau seluruh tanah air Indonesia tentu diperlukan bahasa yang dipahami seluruh bangsa Indonesia.

2.      Eksistensi Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA)

Eksistensi pembelajaran BIPA di dalam maupun luar negeri semakin menguat. Hal ini dibuktikan dengan maraknya pembelajar asing yang datang ke Indonesia. Lembaga-lembaga kursus BIPA pun kian banyak. Tidak hanya itu, bahkan di beberapa Universitas ternama di Indonesia, mulai banyak pembelajar asing yang melanjutkan studi di jurusan bahasa Indonesia. Bahkan beberapa dari mereka mempelajari bahasa Indonesia hingga ke jenjang S-2. Hal ini membuktikan betapa seriusnya orang asing ingin menguasai bahasa Indonesia dengan berbagai kepentingan.  Di samping itu, pemerintah Indonesia juga sudah melakukan tindakan real berupa pengiriman beberapa pengajar atau instruktur BIPA ke beberapa Negara di dunia. Para pengajar BIPA tersebut tentunya memiliki peran yang sangat strategis dalam memperkenalkan khasanah bahasa dan budaya Indonesia di dunia internasional.
Pejabat kementrian Luar Negeri Indonesia (dalam Hudjolly, 2011:1) menyatakan bahwa ada 45 negara di dunia yang mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah luar negeri, misalnya Australia, Amrika Srikat, Kanada, dan Vietnam. Di Asutralia, bahasa indonsia menjadi bahasa populer keempat di mana tercatat sekitar 500 sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia. Di Vietnam, sejak akhir 2007, Pemerintah daerah Ho Chi Minh City telah mengumumkan secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Jadilah Vietnam sebagai anggota ASEAN pertama yang menatapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di negaranya. Bahasa Indonesia di Vietnam disejajarkan dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan.
Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga  melepas pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) 2016 pada Selasa (16/2/2016). Tahun ini ditargetkan sebanyak 80 pengajar BIPA untuk dikirimkan ke 16 negara. Sejauh ini sudah terseleksi 66 pengajar BIPA yang telah resmi dilepas Kemendikbud di Kantor Kemendikbud, Jakarta. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Dadang Suhendar menuturkan ke-66 pengajar tersebut dibagi menjadi dua gelombang, yang masing-masing menjalani pembekalan pada Januari dan Februari 2016. Sejumlah negara-negara tujuan untuk pengiriman pengajar BIPA tersebut adalah Vietnam, Laos, Thailand, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, Jerman, Perancis, Myanmar, Amerika Serikat, Filipina, Maroko, hingga Tunisia (http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016). Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2010:263) juga menyatakan bahwa peminat bahasa Indonesia berangsur-angsur bertambah. Di beberapa sekolah umum yang ada di lura negeri, bahasa Indonesia tetap menjadi salah satu mata pelajaran bahasa asing yang dipelajari. Misalnya Prancis, Selandia Baru, Australia, dan Jepang. Di beberapa perguruan tinggi negara jiran, bahasa Indonesia menjadi salah satu jurusan bahasa asing yang secara berangsur-angsur diminati.

3.      Implementasi Pembelajaran BIPA Berbasis Budaya Sebagai Startegi Menghadapi MEA

Kegiatan proses belajar-mengajarkan bahasa Indonesia menyangkut beberapa aspek, antara lain: aspek sosial, kultural, integratif, komunikatif, dan pragmatif (Supardo, 1988:19). Aspek sosial merupakan sarana komunikasi antar anggota masyarakat. Dengan bahasa setiap orang dapat menyampaikan gagasan, dan perasaan kepada orang lain. Penutur bahasa adalah anggota masyarakat itu. Pengajaran bahasa beraspek sosial terlihat dari kenyataan bahwa kata-kata, struktur bahasa yang diajarkan itu pada akhirnya harus menjadi alat komunikasi. Aspek kultural dalam pengajaran bahasa terlihat baik pada unsur bahasa maupun sikap berbahasa. Dalam berbicara dengan orangtua kita menggunakan kata Bapak, Ibu, atau Paman bukan kata engkau, kamu, atau sejenisnya. Untuk menyatakan kepergian ke alam baka kita memakai kata-kata meninggal, wafat, mangkat, atau tiada lagi. Aspek integratif yaitu bahwa bahasa mempunyai unsur-unsur bunyi yang terdiri atas kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur-unsur itu tidak pernah terpisahkan dari yang lain. Setiap kata tidak akan ada artinya apabila tidak disertai oleh kata yang lain di dalam pemakaian bahasa. Aspek komunikatif yaitu adanya hubungan makna dalam bahasa tersebut. Aspek pragmatik yaitu studi pemakaian bahasa yang dihubungkan dngan konteksnya, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi.
Begitu juga halnya dengan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) yang tentunya tidak bisa terlepas dari aspek-aspek tersebut khususnya aspek kebudayaan sebab bahasa merupakan bagian dari kebudayaan serta sarana penyampaian kebudayaan tertentu. Hal ini sebagaimana menurut Chaer (2006:2) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia sendiri mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi Negara di tengah-tengah berbagai macam bahasa daerah, mempunyai fungsi sebagai berikut.
1.      Alat untuk menjalankan administrasi negara. Ini berarti segala kegiatan administrasi kengaraan, seperti surat-menyurat dinas, rapat-rapat dinas, pendidikan dan sebagainya harus diselenggarakan dalam bahasa Indonesia.
2.      Alat pemersatu berbagai suku bangsa di Indonsia. Komunikasi di antara anggota suku bangsa yang berbeda kurang mungkin dilakukan dalam salah satu bahasa daerah dari anggota suku bangsa itu. Komunikasi lebih mungkin dilakukan dalam bahasa Indonesia. Karena komunikasi antarsuku ini dilakukan dalam bahasa Indonesia, maka akan terciptalah perasaan “satu bangsa” di antara anggota suku-suku bangsa itu.
3.      Media untuk menampung kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah dapat ditampung dengan media bahasa daerah, tetapi kebudayaan nasional Indonesia dapat dan harus ditampung dengan media bahasa Indonesia.

Pembelajaran BIPA berbasis budaya tentunya akan sangat membantu pembelajar asing dalam memahami bahasa dan budaya Indonesia. Melalui pembelajaran BIPA berbasis budaya, seorang instruktur atau pengajar BIPA dapat dengan mudah menginternalisasikan budaya-budaya Indonesia kepada pembelajar asing. Selain itu, di era MEA pmbelajar BIPA tentunya tidak hanya memerlukan penguasaan bahasa semata, melainkan penguasaan terhadap konten budaya Indonesia yang beragam. Pemahaman tentang budaya ini tentunya menjadi hal yang sangat penting dikarenakan pembelajar BIPA di era MEA tentunya akan menetap dalam kurun waktu yang cukup lama di Indonesia. Selain itu, kepentingan mereka belajar BIPA juga tentunya bukan sekadar mahir dalam berbahasa Indonesia tetapi memiliki pemahaman yang utuh dan lebih lengkap sehingga mereka dapat berkomunikasi dalam konteks kultur Indonesia. Pemahaman semacam ini akan sangat membantu mereka dalam beradaptasi karena konteks budaya Indonesia dan Negara-negara lain tentunya banyak terdapat perbedaan.

Menurut Alimatussa”diyah (2016:46) kesadaran pembelajar BIPA tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Nilai-nilai budaya yang harus diimplementasikan ke dalam bahan ajar meliputi:
a.       Pengetahuan tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakat di Indonesia
b.      Kebudayaan/ciri khas daerah-daerah di Indonesia
c.       Sistem/norma yang ada di Indonesia
d.      Pariwisata dan kesenian daerah yang ada di Indonesia

Oleh karena itu, melalui pembelajaran BIPA berbasis budaya, seorang pengajar BIPA dapat dengan mudah memperkenalkan nilai-nilai budaya Indonesia baik budaya fisik maupun non fisik kepada pembelajar asing.  Menurut Mussaif (2016:253) budaya fisik yang dapat diajarkan dalam pembelajaran BIPA dapat berupa tempat-tempat wisata dan situs-situs budaya Indonesia yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang keanekaragaman hasil budaya dan destinasi wisata yang mengagumkan. Sementara itu, budaya nonfisik dapat berupa nyanyian/lagu, cerita rakyat, adat istiadat, dan tradisi masyarakat yang mana dapat memberikan ruh kelembutan, harmonisasi, dan keunikan yang menyentuh sisi psikologis. Budaya fisik dalam konteks ini misalnya saja jika program pembelajaran diselenggarakan di kota Bandung, maka materi ajar dapat berupa teks-teks yang dekat dengan lingkungan belajar, misalnya tentang sejarah tangkuban perahu, tempat-tempat unik di bandung, serta beragam makanan khas bandung. Hal ini bertujuan memberikan pengalaman yang konkret kepada pembelajar. Jika memungkinkan dalam waktu tertentu seorang pengajar bisa melaksanakan pembelajaran outdoor dengan langsung observasi terhadap konten budaya yang diajarkan atau bisa juga melalui media tertentu sehingga pembelajar dapat belajar bahasa sekaligus mengenali budaya Indonesia.
Selanjutnya, metode lain yang juga yang dapat digunakan adalah melaksanakan  pembelajaran dengan memperkenalkan budaya nonfisik seperti lagu atau nyanyian. Tingkat kesukaran lagu tersebut tentunya bergantung dengan tingkat atau jenjang pembelajar. Misalnya pembelajar dapat dibekali lagu yang berjudul “satu-satu” untuk tingkat pemula atau A-1. Lagu ini secara eksplisit menyimpan makna kultur yaitu tentang perkenalan dan rasa sayang terhadap keluarga. Begitu juga halnya lagu “lihat kebunku” yang merepresentasikan kecintaan terhadap tanaman. Lagu “naik delman” yang bertujuan untuk memperkenalkan alat transportasi tradisional Indonesia yang berupa delman.
Namun demikian, pembelajaran BIPA berbasis budaya bukan berarti budaya adalah hal yang prioritas. Dalam konteks ini, penguasaan bahasa tetaplah hal yang utama. Budaya hanya merupakan sarana penguasaan bahasa sekaligus menjadi pengetahuan tambahan bagi pembelajar asing. Pembelajaran ini juga akan lebih efektif jika dilaksanakan secara integratif sehingga tidak ada pemisahan khusus antara kompetensi dari tiap-tiap keterampilan berbahasa. Oleh karenanya, suatu kompetensi tertentu bisa saja mengajarkan beberapa keterampilan berbahasa. Selanjutnya, budaya yang diajarkan juga disesuaikan dengan kebutuhan pembelajar, seperti halnya lagu tersebut yang mana harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan penguasaan bahasa pembelajar asing sehingga bahan ajar pun menjadi relevan dengan tingkat atau jenjang penguasaan bahasa pembelajar.
Dengan pembelajaran yang demikian, seorang pengajar BIPA dapat membantu pembelajar asing menguasai bahasa Indonesia dengan mudah serta mampu memahami konten budaya yang diajarkan. Eksistensi pembelajaran BIPA akan semakin menguat dengan adanya penerapan MEA yang sudah berlangsung. Dengan dikenalnya bahasa Indonesia di era MEA maka pembelajar asing akan mengetahui keunikan budaya Indonesia yang beragam. Minat pembelajar asing yang kuat terhadap bahasa Indonesia pada akhirnya akan semakin membuat bahasa Indonesia dikenal secara global sehingga hal ini tentunya menjadi sebuah peluang bagi bahasa Indonesia untuk menjadi salah satu bahasa Internasional. Namun demikian, rencana dan harapan ini tentunya akan dapat dicapai dengan adanya dukungan dari pemerintah. Sudah selayaknya pemerintah Indonesia memformulasikan kebijakan khusus terhadap standardisasi penguasaan bahasa Indonesia bagi pembelajar asing yang akan menetap di Indonesai dengan berbagai kepentingan. Dengan adanya standar khusus yang telah disahkan oleh pemerintah, pembelajar asing pun dituntut untuk mengenal bahasa dan budaya Indonesia sehingga kesempatan ini merupakan sarana atau jembatan bagi bahasa indonesai untuk lebih eksis di kancah internasional.
  C.            KESIMPULAN
Saat ini eksistensi pembelajaran BIPA semakin menguat baik di dalam maupun luar negeri. Banyak lembaga-lembaga di Indonesia yang mulai membuka kursus pembelajaran BIPA. Begitu juga sebaliknya, pemerintah Indonesia pun mulai mengirimkan beberapa instruktur atau pengajar BIPA ke beberapa Negara seperti Vietnam, Laos, Thailand, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, Jerman, Perancis, Myanmar, Amerika Serikat, Filipina, Maroko, hingga Tunisia. Dalam impelentasinya, pembelajaran bahasa tentunya tidak bisa terlepas dari aspek kultural dari bahasa yang diajarkan karena belajar bahasa sejatinya juga belajar kebudayaan. Pembelajaran BIPA berbasis budaya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan memperkenalkan budaya fisik maupun nonfisik dari budaya tersebut. Pembelajaran BIPA berbasis budaya fisik misalnya dengan memasukkan konten tempat-tempat wisata dan benda-benda yang menjadi ciri khas daerah tertentu. Sementara itu, budaya fisik dapat berupa nyanyian ataupun tradisi dari suatu daerah. Konten budaya ini tentunya dapat dimuat dalam bahan ajar pada pembelajaran BIPA untuk membantu pembelajar asing menguasai keterampilan berbahasa yang diinginkan. Pembelajaran BIPA berbasis budaya tetap menekankan penguasaan berbahasa Indonesia sebagai orientasi utama. Budaya dalam konteks ini hanya berperan sebagai sarana penguasaan keterampilan berbahasa. Di samping itu, implementasi pembelajaran BIPA berbasis budaya juga dilakukan secara integratif sehingga tidak ada pemisahan antarketerampilan berbahasa tertentu. Pembelajaran BIPA berbasis budaya di era MEA juga diharapkan dapat menjadi suatu kesempatan bagi orang asing untuk memahami bahasa sekaligus budaya Indonesia dengan optimal sehingga dapat menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan masyarakat Indonesa. Selain itu, pembelajaran BIPA berbasis budaya di Era MEA tentunya juga sangat diharapkan menjadi sarana internasionalisasi bahasa Indonesia itu sendiri sehingga bahasa Indonesia diakui secara global dan dapat menjadi salah satu bahasa Internasional.




DAFTAR PUSTAKA

Alimatussa”diyah. 2016. Pengimpelementasian Nilai-Nilai Budaya Dalam Bahan Ajar BIPA. Prosiding, Universitas Negeri Semarang, Semarang, Hal. 46.
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama.
Azizah, dkk. 2012. Pembelajaran BIPA Program CLS (Critical Language Scholarship) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.

Char, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pt Rineka Cipta.
Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2010. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hudjolly. 2011. Bahasa Indonesia Di Mata Dunia. Raja Ali Haji. (Diakses dari http://www.rajaalihaji.com pada tanggal 4 Januari 2016)
Mussaif, Moh. Muzakka. 2016. Pembelajaran BIPA Berbasis Budaya. Prosiding, Universitas Negeri Semarang, Semarang, Hal. 253.
Pamungkas, Sri. 2012. Bahasa Indonesia Dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: ANDI.
Supardo, Susilo. 1988. Bahasa Indonesia Dalam Konteks. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.





Dunia Fiksi (Cerpen)



Memeluk Ketidakmungkinan
Karya: Febi Junaidi
Kulihat wajah ibu begitu lesu dan penuh kebingungan. Kutahu, banyaknya tagihan hutang yang datang ke gubuk kami beberapa hari yang lalu membuat ibu tak bisa berkutik, melainkan hanya bisa memandangi lembaran kertas yang berisi rincian hutang itu. Aku pun demikian, hanya bisa mematung tak berguna. Ingin rasanya membantu peliknya masalah yang sedang ibu hadapi, namun apa hendak dikata, aku sendiri hanya seorang pelajar SMA yang tak berpenghasilan, malahan aku masih menumpukkan beban yang berat kepada ibu.
Aku benar-benar merasa seorang anak laki-laki yang tiada guna. Di usiaku yang seperti ini, kusadari seharusnya aku sudah mampu menjaga bahkan membantu ibu memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi entah mengapa, aku tiada gentar, aku sangat yakin bahwa ibu adalah perempuan yang tegar dan hebat, karena biasanya ibu senantiasa mampu mengatasi beragam masalah yang datang menerpa kami. Aku pun tahu bahwa Ibu saat ini tiada mempunyai uang sedikitpun untuk melunasi hutang-hutang itu. Jangankan untuk membayar hutang, kebutuhan kami saat ini pun masih sering kekurangan. Sejujurnya, penghasilan ibu perbulan didapat dari upah mengerjakan ladang tetangga, nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kami. Semenjak Ayah pulang menghadap-Nya, ibu memang semakin nampak murung dan tidak bergairah menjalankan beragam aktivitasnya.
Terlahir dalam keluarga dengan penuh keterbatasan seperti ini tentunya membuat aku semakin gigih berjuang. Susah adalah hal biasa yang kutemui. Tantangan demi tantangan telah banyak aku lewati dalam menempuh pendidikan. Ibuku memang sebagai seorang buruh di kampung. Banyak orang kampung yang membutuhkan jasanya. Sepengetahuanku, ibu juga akan menerima semua pekerjaan tersebut selagi dia mampu. Sejujurnya kondisi ini sama sekali tidak menjadi penghalang bagiku untuk meraih yang terbaik. Saat sekolah di SD, ditengah kemelaratan itu, aku tetap mempertahankan juara kelas nomor satu. Ketika SMP, prestasi itu pun tetap bertahan. Bahkan selama di bangku SMA aku tetap selalu menjadi bintang kelas. Dengan prestasi yang demikian, seringkali aku mengikuti kegiatan olimpiade sains dan cerdas cermat bersama siswa lain sebagai perwakilan dari sekolah kami.
Ketika hendak menamatkan SMA, barulah aku berniat mengukir mimpi yang lebih tinggi, yaitu hendak melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Negeri. Ibuku setengah setuju terhadap keinginan itu. Mengapa demikian? Persoalan biayalah jawabannya. Aku sadar akan kondisi yang serba kekurangan ini, hanya saja keinginan ini semakin hari semakin menguat dan penuh keyakinan. Peluang beasiswa bidikmisi yang disampaikan Pak Sarijan kala itu membuat semangatku semakin melejit, menerobos kategori wajar. Pernyatan beliau dikala kami sedang belajar biologi saat itu terus terngiang di telingaku “Taufik, kamu adalah siswa yang pandai, bapak sangat yakin kamu bisa sukses, gantungkanlah cita-citamu setinggi-tingginya. Yakinlah nak, dengan segenap usaha dan kerja kerasmu, kamu bisa meraih mimpi-mimpimu, memeluk ketidakmungkinan itu” Tutur beliau dengan ambisius.
Aku memang seorang pemburu beasiswa. Semenjak sekolah hampir setiap hari aku menemui Pak Sarijan, sang guru sekaligus motivator bagiku. Dengan beragam usaha dan jerih paya, akhirnya kala itu aku pun berhasil meraih beasiswa bidikmisi yang mana selalu beliau janjikan. Hati ini riang tiada tara, kusampaikan kabar yang menggembirakan itu kepada ibu. Kulihat betapa wajahnya berseri penuh haru dan bahagia. Hanya saja, sebenarnya kondisi ini sempat menghadirkan rasa minder, membuat rasa percaya diriku menyingkir jauh.
Kuliah yang selalu berjalan kaki dan tidak mempunyai laptop  membuat aku terkadang merasa minder dan rendah diri. Belum lagi tak sedikit cibiran orang kampung yang memanaskan telingaku, membuat diri ini sejenak mengabaikan mimpi-mimpiku, sebuah keinginan yang dianggap orang sebagai ketidakmungkinan. Orang bilang bahwa aku adalah manusia yang egois dan terlalu memaksakan kehendak, beraninya bermimpi tanpa melihat keadaan.
Tatkala perasaan minder itu datang mengusik, aku biasanya menyempatkan diri untuk membaca berbagai buku kisah inspirasi dan kata-kata motivasi guna membangkitkan rasa percaya diri dan semangatku untuk belajar. Aku juga senantiasa menutup telingaku rapat-rapat, menghindar terhadap kata-kata yang bertujuan menyurutkan semangatku. Setiap di akhir semester, juga selalu aku kirimkan kabar berbagai prestasiku ke kampung halaman. Ibu sangat bahagia melihatnya. Pernah ia menyampaikan, “sesungguhnya letih yang ia rasakan saat bekerja tergantikan dengan semangat yang menggebu”.
Keberhasilanku menjadi pemenang lomba olimpiade matematika tingkat provinsi membuat ibu senantiasa senyum sumbringah. Belum lagi subsidi beasiswa bidikmisi dari pemerintah yang cukup membantu. Lagi pula, tak jarang akupun mendapat uang saku dari kampus atas berbagai prestasi akademik tersebut. Tentunya hal ini membuat diriku sedikit bisa belajar untuk lebih mandiri.
Selain itu, momen yang paling membahagiakan adalah ketika aku melihat ibu yang yang duduk di barisan paling depan saat aku wisuda. Alhamdulilah kala itu aku menjadi lulusan terbaik di kampusku. Ibuku sangat terharu dengan kenyataan ini. Aku pun benar-benar merasa manusia paling bahagia kala itu. Bukan sekadar karena berbagai pencapaiannya, melainkan karena aku berhasil melewati masa-masa sulit itu, berjuang dengan kerja keras dan penuh semangat sehingga dapat menciptakan kebahagiaan bagi orang-orang di sekelilingku.
Tiba-tiba khayalku terhenti, aku terkejut dan tersadar dari lamunan. Kulihat hari mulai mendung, sang raja siang pun mulai bersembunyi di balik awan. Shuttle bus yang kutumpangi mendadak berhenti di tujuanku: University College London, kampus yang kuidamkan sejak dulu. Tanpa kusadari butiran bening pun menggelayut di pelupuk mata, kemudian jatuh tak terbendung membasahi pipiku. Aku ingat janji-janjiku kepada ibu bahwa aku akan mempersembahkan ketidakmungkinan yang sempat kami khayalkan bersama.
Dengan sigap kembali kupandangi wajah ibu yang kusam dan mulai terlihat menua di balik sebuah foto pudar ukuran 3 R, hasil jepretan kala aku wisuda sarjana tempo dulu. Foto tersebut memang selalu tersimpan rapi di dalam tasku sehinga selalu kubawa kemanapun hendak berpergian. Aku sangat ingat bahwa dahulu ibu belum sepenuhnya rela melepas kepergiaanku ke luar negeri. Kabar kelulusanku meraih beasiswa untuk kuliah S-2 ke Inggris tempo hari menjadi bumerang tersendiri bagi ibu. Bahkan selama empat tahun aku menuntut ilmu ke kota provinsi yang hanya berjarak beberapa kilo dari desa  sudah sangat membuat ibu resah dan kesepian. Sementara sekarang aku telah melintasi jutaan kilo, menempuh jarak yang amat jauh.
Sebelum meneruskan perjuangan ke Inggris, aku ingat betul betapa beragam kalimat pujian mendatangiku, kesopanan mulai menghampiri, sikap cemooh serta niat meremehkan pun mulai menyingkir secara perlahan. Yang menghampiriku hanya kalimat-kalimat pujian serta kesalutan terhadap pencapaian anak tukang penerima zakat, manusia termiskin di kampong, tempat orang bersedekah, menjadi sumber simpati sekaligus antipati bagi warga kampung. Barangkali semua orang terkejut, suatu hal yang tidak mungkin bahwa seorang anak penerima zakat tua rentah yang penuh keterbatasan bisa melanjutkan pendidikan setinggi itu.
Untuk kesekian kalinya kembali kutatap dan kubelai wajah ibu di balik foto kusam itu. Kusampaikan kabar gembira pada foto itu bahwa besok putra kesayangannya akan mempersembahkan toga yang kedua buat ibu sebagaimana telah ia janjikan. Gejolak emosiku pun berkecamuk, ingin rasanya meninggalkan Kota London secepatnya. Pikiranku masih terbebani dengan beragam rasa bersalah.
Aku sangat menyesalkan, ketika kabar duka itu sampai di telingaku, aku tidak bisa berbuat lebih kecuali meratap penuh duka. Kesedihan yang kian menggerogoti alam pikiran dan menetap berkecamuk di hati. Sekitar setahun yang lalu, Pak Sarijan mengabarkan kondisi ibu yang amat memprihatinkan. Kala itu ibu ditemukan telah meninggal di gubuk kami, dengan kondisi mengundang air mata bagi siapa pun yang melihatnya. Tubuh kurusnya nampak kumal dan tak terawat, tergeletak di lantai tanah gubuk itu. Aku hanya bisa bersedih dari kejauhan.
Kala itu sangat tidak memungkinkan bagiku untuk pulang ke kampung halaman. Hanya kidung doa penuh mohon kutitipkan pada Tuhan. Berharap keberlimpahan-Nya tak putus membersamai ibu. Aku pun mulai menyadari bahwa meraih cita-cita tentunya membutuhkan pengorbanan. Tugas kita hanya jangan pernah menyerah dalam kedaaan apapun, tetap semangat, dan lakukan yang terbaik. Aku hanya menitip rindu ini pada ilahi, berharap ibu bahagia melihat apa yang kuraih saat ini. Dalam hati aku pun berbisik “Ibu, puteramu telah berhasil memeluk ketidakmungkinan sebagaimana yang telah kita angankan dan orang lain ragukan“.