Jumat, 14 Juni 2013

ARTIKEL TANGGAPAN TERHADAP ISU KURIKULUM BARU


Kurikulum Baru 2013
            Ketika kita mengetahui isu seputar akan diterapkannya kurikulum baru 2013, menggiring kita pada ruang kontroversi. Menurut saya perubahan kurikulum pada hakikatnya merupakan suatu yang lumrah, dan semua tentunya mengarah pada perbaikan. Ketika saya mengikuti Seminar nasional tentang kurikulum baru se-Indonesia yang diikuti oleh mahasiswa FKIP se-Universitas yang ada diIndonesia. Mereka begitu tertarik untuk membahas mengenai kurikulum baru ini. Jika dilihat lebih intens kurikulum baru ini mengaitkan antara Ada anggapan, kurikulum baru ini lebih berlatar belakang politis ketimbang mengedepankan konseptual fundamental pendidikan yang berorientasi jangka panjang untuk menjawab tantangan zaman dan pergaulan global. Anggapan lainnya, kurikulum ini hanya sekedar mengejar target penuntasan kinerja dari pemerintah sebelum Pemilu 2014. Pergantian kurikulum seakan menjadi hal biasa setiap kali pergantian menteri. Tanggapan masyarakat pun beragam, terbelah antara pro dan kontra, optimis dan pesimis memandang kurikulum baru ini.
            Pada dasarnya pendidikan yang baik itu tergantung bagaimana murid belajar sebagai sebuah proses memaknai pengalamannya sehari-hari. Proses memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan oleh perubahan sikap dan praktek kehidupan sehari-hari yang diteladankan guru dan dibudayakan di sekolah. Sesederhana ini sebenarnya apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan. memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, bukan untuk menjuarai lomba-lomba sains, atau lulus Ujian Nasional.
            Perbaikan mutu pendidikan ini dengan demikian sesungguhnya tergantung pada kualitas guru dan budaya sekolah di mana murid mengalaminya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekedar menjelang ujian-ujian. Jika kualitas guru seburuk saat ini, dan budaya sekolah sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti kemandirian dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari. Sekolah menjadi ladang pembantaian inovasi, tempat yang pengap bagi beragam ekspresi multi-ranah multi-cerdas murid-muridnya. Yang kita butuhkan saat ini adalah  perubahan guru dan budaya belajar. Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi oleh siapa pun. Pembinaannya harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak boleh dipandang lebih sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman pada kode etik guru.
            Budaya belajar dapat dikembangkan dengan sederhana. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan layanan perpustakaan yang baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses internet yang memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian hargai pengalaman dan praktek murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya belajar di sekolah dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid belajar, bukan sekedar tempat guru mengajar, dan statistik kelulusan ujian diukur untuk kepentingan birokrasi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini sebenarnya sudah cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten yang berani secara kreatif merancang proses pembelajaran yang paling sesuai bagi murid-muridnya.
            Di sisi lain, perubahan kurikulum sebenarnya adalah hal yang wajar karena zaman yang senantiasa berubah. Namun, tindakan reaktif pemerintah melakukan perubahan kurikulum pasca petaka moral dan sosial yang menimpa dunia pendidikan akhir-akhir ini, seakan menempatkan kurikulum sebagai biang keladinya. Sejumlah kalangan menilai tindakan ini kurang bijaksana dan terlalu memperturutkan kepentingan politis sesaat, pun tidak didasari atas sebuah penelitian dan kajian komprehensif tentang layak tidaknya kurikulum sebelumnya. Alangkah baiknya, jika setiap kebijakan dan keputusan dikaji terlebih dahulu melalui penelitian mendalam oleh pemerintah sehingga langkah perubahan itu dapat diterima dalam nalar ilmiah dan logika.
            Di lain pihak, kurikulum baru ini dianggap memiliki keunggulan karena lebih mengedepankan keseimbangan soft skills dan hard skills. Selain itu, simplifikasi mata pelajaran (mapel), menjadi harapan orangtua yang selama ini ikut merasakan beban berat anaknya akibat banyaknya mapel. Muatan kurikulum baru berbasis pendidikan karakter, juga dinilai sejalan dengan tuntutan masyarakat tentang urgensitas pengembangan kepribadian siswa sebagai manusia seutuhnya yang unggul dan berakhlak mulia. Terlepas dari itu semua, perlu disadari bahwa perubahan kurikulum tidak selalu menjamin peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, ada banyak pekerjaan lain yang menuntut harus diselesaikan.
            Penting diingat, apapun kurikulum yang akan diberlakukan, guru memiliki peran vital dalam penjabaran kurikulum tersebut di sekolah. Guru adalah ujung tombaknya. Jika guru tidak memahami konsep kurikulum baru ini dengan baik, tujuan pendidikan akan sulit dicapai. Tentu saja, optimalisasi peran guru harus menjadi titik tekannya. Karena pada praktiknya, guru lah yang akan menerjemahkan kurikulum ini secara langsung di ruang-ruang pembelajaran. Acapkali terjadi, kurikulum yang unggul menjadi mandul karena pemahaman dan penguasaan guru terhadap kurikulum yang tumpul.
            Di samping itu, kita juga harus tetap berbaik sangka, kurikulum baru yang diramu oleh para pakar pendidikan itu akan menumbuhkan kembali harapan bagi masa depan pendidikan yang jauh lebih baik. Silang pendapat dari berbagai kalangan tentunya akan menemukan muara kebenarannya pasca penerapan kurikulum baru ini nantinya. Tak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini. Kepedulian akan nasib pendidikan bangsa lah yang menuntut para pendidik untuk bersuara, entah itu sepakat atau tidak. Yang penting, kita sudah melakukan hal terbaik dalam ibadah akademis kita sebagai pendidik. Insyaallah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar