Selasa, 07 Maret 2017

Dunia Fiksi (Cerpen)



Memeluk Ketidakmungkinan
Karya: Febi Junaidi
Kulihat wajah ibu begitu lesu dan penuh kebingungan. Kutahu, banyaknya tagihan hutang yang datang ke gubuk kami beberapa hari yang lalu membuat ibu tak bisa berkutik, melainkan hanya bisa memandangi lembaran kertas yang berisi rincian hutang itu. Aku pun demikian, hanya bisa mematung tak berguna. Ingin rasanya membantu peliknya masalah yang sedang ibu hadapi, namun apa hendak dikata, aku sendiri hanya seorang pelajar SMA yang tak berpenghasilan, malahan aku masih menumpukkan beban yang berat kepada ibu.
Aku benar-benar merasa seorang anak laki-laki yang tiada guna. Di usiaku yang seperti ini, kusadari seharusnya aku sudah mampu menjaga bahkan membantu ibu memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi entah mengapa, aku tiada gentar, aku sangat yakin bahwa ibu adalah perempuan yang tegar dan hebat, karena biasanya ibu senantiasa mampu mengatasi beragam masalah yang datang menerpa kami. Aku pun tahu bahwa Ibu saat ini tiada mempunyai uang sedikitpun untuk melunasi hutang-hutang itu. Jangankan untuk membayar hutang, kebutuhan kami saat ini pun masih sering kekurangan. Sejujurnya, penghasilan ibu perbulan didapat dari upah mengerjakan ladang tetangga, nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kami. Semenjak Ayah pulang menghadap-Nya, ibu memang semakin nampak murung dan tidak bergairah menjalankan beragam aktivitasnya.
Terlahir dalam keluarga dengan penuh keterbatasan seperti ini tentunya membuat aku semakin gigih berjuang. Susah adalah hal biasa yang kutemui. Tantangan demi tantangan telah banyak aku lewati dalam menempuh pendidikan. Ibuku memang sebagai seorang buruh di kampung. Banyak orang kampung yang membutuhkan jasanya. Sepengetahuanku, ibu juga akan menerima semua pekerjaan tersebut selagi dia mampu. Sejujurnya kondisi ini sama sekali tidak menjadi penghalang bagiku untuk meraih yang terbaik. Saat sekolah di SD, ditengah kemelaratan itu, aku tetap mempertahankan juara kelas nomor satu. Ketika SMP, prestasi itu pun tetap bertahan. Bahkan selama di bangku SMA aku tetap selalu menjadi bintang kelas. Dengan prestasi yang demikian, seringkali aku mengikuti kegiatan olimpiade sains dan cerdas cermat bersama siswa lain sebagai perwakilan dari sekolah kami.
Ketika hendak menamatkan SMA, barulah aku berniat mengukir mimpi yang lebih tinggi, yaitu hendak melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Negeri. Ibuku setengah setuju terhadap keinginan itu. Mengapa demikian? Persoalan biayalah jawabannya. Aku sadar akan kondisi yang serba kekurangan ini, hanya saja keinginan ini semakin hari semakin menguat dan penuh keyakinan. Peluang beasiswa bidikmisi yang disampaikan Pak Sarijan kala itu membuat semangatku semakin melejit, menerobos kategori wajar. Pernyatan beliau dikala kami sedang belajar biologi saat itu terus terngiang di telingaku “Taufik, kamu adalah siswa yang pandai, bapak sangat yakin kamu bisa sukses, gantungkanlah cita-citamu setinggi-tingginya. Yakinlah nak, dengan segenap usaha dan kerja kerasmu, kamu bisa meraih mimpi-mimpimu, memeluk ketidakmungkinan itu” Tutur beliau dengan ambisius.
Aku memang seorang pemburu beasiswa. Semenjak sekolah hampir setiap hari aku menemui Pak Sarijan, sang guru sekaligus motivator bagiku. Dengan beragam usaha dan jerih paya, akhirnya kala itu aku pun berhasil meraih beasiswa bidikmisi yang mana selalu beliau janjikan. Hati ini riang tiada tara, kusampaikan kabar yang menggembirakan itu kepada ibu. Kulihat betapa wajahnya berseri penuh haru dan bahagia. Hanya saja, sebenarnya kondisi ini sempat menghadirkan rasa minder, membuat rasa percaya diriku menyingkir jauh.
Kuliah yang selalu berjalan kaki dan tidak mempunyai laptop  membuat aku terkadang merasa minder dan rendah diri. Belum lagi tak sedikit cibiran orang kampung yang memanaskan telingaku, membuat diri ini sejenak mengabaikan mimpi-mimpiku, sebuah keinginan yang dianggap orang sebagai ketidakmungkinan. Orang bilang bahwa aku adalah manusia yang egois dan terlalu memaksakan kehendak, beraninya bermimpi tanpa melihat keadaan.
Tatkala perasaan minder itu datang mengusik, aku biasanya menyempatkan diri untuk membaca berbagai buku kisah inspirasi dan kata-kata motivasi guna membangkitkan rasa percaya diri dan semangatku untuk belajar. Aku juga senantiasa menutup telingaku rapat-rapat, menghindar terhadap kata-kata yang bertujuan menyurutkan semangatku. Setiap di akhir semester, juga selalu aku kirimkan kabar berbagai prestasiku ke kampung halaman. Ibu sangat bahagia melihatnya. Pernah ia menyampaikan, “sesungguhnya letih yang ia rasakan saat bekerja tergantikan dengan semangat yang menggebu”.
Keberhasilanku menjadi pemenang lomba olimpiade matematika tingkat provinsi membuat ibu senantiasa senyum sumbringah. Belum lagi subsidi beasiswa bidikmisi dari pemerintah yang cukup membantu. Lagi pula, tak jarang akupun mendapat uang saku dari kampus atas berbagai prestasi akademik tersebut. Tentunya hal ini membuat diriku sedikit bisa belajar untuk lebih mandiri.
Selain itu, momen yang paling membahagiakan adalah ketika aku melihat ibu yang yang duduk di barisan paling depan saat aku wisuda. Alhamdulilah kala itu aku menjadi lulusan terbaik di kampusku. Ibuku sangat terharu dengan kenyataan ini. Aku pun benar-benar merasa manusia paling bahagia kala itu. Bukan sekadar karena berbagai pencapaiannya, melainkan karena aku berhasil melewati masa-masa sulit itu, berjuang dengan kerja keras dan penuh semangat sehingga dapat menciptakan kebahagiaan bagi orang-orang di sekelilingku.
Tiba-tiba khayalku terhenti, aku terkejut dan tersadar dari lamunan. Kulihat hari mulai mendung, sang raja siang pun mulai bersembunyi di balik awan. Shuttle bus yang kutumpangi mendadak berhenti di tujuanku: University College London, kampus yang kuidamkan sejak dulu. Tanpa kusadari butiran bening pun menggelayut di pelupuk mata, kemudian jatuh tak terbendung membasahi pipiku. Aku ingat janji-janjiku kepada ibu bahwa aku akan mempersembahkan ketidakmungkinan yang sempat kami khayalkan bersama.
Dengan sigap kembali kupandangi wajah ibu yang kusam dan mulai terlihat menua di balik sebuah foto pudar ukuran 3 R, hasil jepretan kala aku wisuda sarjana tempo dulu. Foto tersebut memang selalu tersimpan rapi di dalam tasku sehinga selalu kubawa kemanapun hendak berpergian. Aku sangat ingat bahwa dahulu ibu belum sepenuhnya rela melepas kepergiaanku ke luar negeri. Kabar kelulusanku meraih beasiswa untuk kuliah S-2 ke Inggris tempo hari menjadi bumerang tersendiri bagi ibu. Bahkan selama empat tahun aku menuntut ilmu ke kota provinsi yang hanya berjarak beberapa kilo dari desa  sudah sangat membuat ibu resah dan kesepian. Sementara sekarang aku telah melintasi jutaan kilo, menempuh jarak yang amat jauh.
Sebelum meneruskan perjuangan ke Inggris, aku ingat betul betapa beragam kalimat pujian mendatangiku, kesopanan mulai menghampiri, sikap cemooh serta niat meremehkan pun mulai menyingkir secara perlahan. Yang menghampiriku hanya kalimat-kalimat pujian serta kesalutan terhadap pencapaian anak tukang penerima zakat, manusia termiskin di kampong, tempat orang bersedekah, menjadi sumber simpati sekaligus antipati bagi warga kampung. Barangkali semua orang terkejut, suatu hal yang tidak mungkin bahwa seorang anak penerima zakat tua rentah yang penuh keterbatasan bisa melanjutkan pendidikan setinggi itu.
Untuk kesekian kalinya kembali kutatap dan kubelai wajah ibu di balik foto kusam itu. Kusampaikan kabar gembira pada foto itu bahwa besok putra kesayangannya akan mempersembahkan toga yang kedua buat ibu sebagaimana telah ia janjikan. Gejolak emosiku pun berkecamuk, ingin rasanya meninggalkan Kota London secepatnya. Pikiranku masih terbebani dengan beragam rasa bersalah.
Aku sangat menyesalkan, ketika kabar duka itu sampai di telingaku, aku tidak bisa berbuat lebih kecuali meratap penuh duka. Kesedihan yang kian menggerogoti alam pikiran dan menetap berkecamuk di hati. Sekitar setahun yang lalu, Pak Sarijan mengabarkan kondisi ibu yang amat memprihatinkan. Kala itu ibu ditemukan telah meninggal di gubuk kami, dengan kondisi mengundang air mata bagi siapa pun yang melihatnya. Tubuh kurusnya nampak kumal dan tak terawat, tergeletak di lantai tanah gubuk itu. Aku hanya bisa bersedih dari kejauhan.
Kala itu sangat tidak memungkinkan bagiku untuk pulang ke kampung halaman. Hanya kidung doa penuh mohon kutitipkan pada Tuhan. Berharap keberlimpahan-Nya tak putus membersamai ibu. Aku pun mulai menyadari bahwa meraih cita-cita tentunya membutuhkan pengorbanan. Tugas kita hanya jangan pernah menyerah dalam kedaaan apapun, tetap semangat, dan lakukan yang terbaik. Aku hanya menitip rindu ini pada ilahi, berharap ibu bahagia melihat apa yang kuraih saat ini. Dalam hati aku pun berbisik “Ibu, puteramu telah berhasil memeluk ketidakmungkinan sebagaimana yang telah kita angankan dan orang lain ragukan“.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar