Senin, 25 Januari 2016

BAB I : WELCOME TO YOGYAKARTA (KIDUNG CINTA SANG DHUAFA)


BAB I 
Welcome To Yogyakarta (KIDUNG CINTA SANG DHUAFA)

Aku termenung duduk di kursi tua itu. Di teras rumahku, ku dengar suara ibu dari negara tetangga nampak nanar. Aku harus mengambil sebuah keputusan yang akan menentukan masa depanku. Begitulah keadaan keluarga kami. Semenjak perceraian ayah dan ibuku semuanya jadi berantakan. Hidupku menjadi bingung menentukan masa depan. Aku tertegun membisu. Ibu terus menanyaiku meminta jawaban pasti bak seorang dosen yang sedang menguji persidangan tugas akhir mahasiswanya. Suasana tegang dan getar. Ya, aku setuju dengan ibu. Aku siap melanjutkan sekolah jenjang SMA ke kota pelajar, Jogja. Aku siap tinggal di Panti Asuhan yang menurut pikiranku penuh dengan kemelaratan. Aku siap menanggung semuanya. Aku melakukannya demi kebahagiaan ibu. Setelah pengakuan itu, kudengar suara ibu di balik telepon  nampak bahagia. Ku yakin wajahnya sedang bersinar indah bagai sang raja siang di pagi hari. Aku yakin mukanya nampak cerah dan puas sumbringah. Ibu sepertinya sangat bahagia dengan keputusan yang aku ambil.
Ya, aku melakukannya demi ibuku tersayang. Sebab aku sangat tidak ingin membuat Ia kecewa. Ayahku juga tidak pernah kembali lagi. Perpisahan mereka membuat masa depanku terombang-ambing seperti ombak di lautan.  Perpisahan mereka juga membuat ibuku mengambil keputusan yang tidak aku inginkan. Ibuku kembali merantau ke Negara tetangga sejak aku masih kelas empat sekolah dasar. Ibuku menjadi TKI di Malaysia untuk kedua kalinya. Sejujurnya, aku tidak mendukung semua itu, melihat berbagai berita ekstrim di televisi yang membuat aku sangat khawatir keadaan ibu di sana. Namun apa hendak dikata, keputusan ibu tidak akan tergoyahkan, lagi pula ibu tentunya lebih tau apa yang harus ia lakukan. Sementara itu, Randi, kakak tunggalku sudah setahun merantau di kota Batam.
            Dulu, ketika ibu berada di Malaysia. Sepuluh tahun lamanya aku dan kak Randi tinggal di rumah Maktue Sutri, kakak tertua dari ibuku. Maktue Sutri merawat aku dan Kak Randi dengan sepenuh hati sehingga aku merasa ia juga seperti ibu kandungku. Maktue Sutri merawatku dari usia dua tahun hingga aku menamatkan SMP. Dengan segala keterbatasan keluarganya, Beliau tetap tulus mau menampung kami berdua. Sebenarnya Kesusahan memang sudah menerpaku sejak kecil. Kebahagiaan itu rasanya lari dan semakin menjauh dari hidupku. Ketika SMP aku selalu berjalan kaki sekitar tiga kilo meter menuju sekolahku. Dengan semangat yang menjulang, aku pun mampu menamatkan studiku di SMP Negeri 19 Bengkulu Selatan. Setelah mengeketahui bahwa aku sudah lulus dari Ujian Nasional, rupanya ibu sudah menyusun rencana untuk kelanjutan pendidikanku. Ibu sudah berbicara banyak hal dengan Ustad Agustian tentang diriku. Ibu sepenuhnya sudah menitipkan aku dengannya. Kesanggupanku untuk ikut Ustad Agustian ke Jogja adalah kabar gembira bagi Ibu.
            Waktu terasa begitu cepat berlalu. Aku merasa jarum jam berputar tak seperti biasanya. Aku telah mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, termasuk persyaratan pendaftaran sekolah ke Jogja nantinya. Koperku terlihat penuh tak berkapasitas lagi. Aku akan pergi dengan tekad yang bulat dapat berhasil di kota pelajar nantinya. Ku pandang raut muka Maktue Sutri memerah. Butiran bening terlihat semakin terbendung ingin berjatuhan di pelupuk matanya. Kesedihan terpancarkan dari geriknya. Aku pun merasa sangat miris. Hati ini rasanya tersanyat sembilu ketika sejenak ku ingat bahwa keluarga kami terpisah dimana-mana. Persis seperti pecahan gelas yang rasanya mustahil akan utuh kembali. Ku peluk Maktue Sutri dengan erat, ku cium wajah dan tangannya sebagai permohonan restu. Suasana semakin haru. Tetangga dekat kami pun berdatangan menyaksikan keberangkatanku. Tak lupa beberapa tentangga memberikan lembaran uang dua puluh hingga lima puluh ribuan padaku. Saat ini aku merasa diibahi orang lain. Kebahagiaan itu rasanya benar bukan milik kami dan tak akan pernah bersamaku. Ku salami semua tetanggaku. Ku langkahkan kakiku menuju bus jurusan Manna-Jogja itu. Sebuah bus tua renyah yang tinggal menanti masa pensiun. Perjalanan ke jogja cukup lama, memakan waktu hingga tiga hari. Aku tidak tahu apakah ini memang disebabkan oleh jarak yang memang jauh atau dikarenakan kondisi bus yang sangat memprihatinkan. Bersama Ustad Agustian, aku menikmati perjalanan panjang itu. Dan suatu ketika dikala Bus itu singgah di peraduannya, Ustad Agustian jua tak lupa mengajakku ke sebuah rumah makan sederhana bersama penumpang lainnya untuk mendiamkan musik keroncong di perutku.
            Setelah banyak menghabiskan waktu berhari-hari di perjalanan, Bus yang kami tumpangi pun mulai memasuki kwasan kota Jogja. Aku tidak membayangkan bahwa Kota Jogja akan sesederhana ini. Tak jauh berbeda dengan Bengkulu. Kota yang sederhana dan Adem ayem. Hanya saja infrastruktur dan prasarana lainnya tentunya Jogja memiliki nilai lebih. Hamparan padi yang sedang menguning di tepian jalan menuju kota ini menciptakan kesan alami nan indah. Menyejukkan dan menentramkan jiwa. Para pengendara sepeda pun lalu-lalang di tengah kota menuju tujuannya masing-masing. Awalnya aku berasumsi bahwa Jogja adalah kota yang amat ramai, bising, dan dilengkapi dengan bangunan yang tinggi mencakar langit. Dugaanku langsung terbantahkan. Semua yang aku bayangkan tak sesuai kenyataan. Kota ini ternyata kota yang sederhana. Masyarakatnya ramah tama serta sangat menjaga etika dan norma agama.
            Tak lama setelah itu, Bus pun berhenti pertanda kalau kami sudah sampai. “Terminal Giwangan” begitu tulisan yang sempat kubaca. Pikiranku melayang jauh, akhirnya diri ini sudah menginjakkan kaki ke kota yang katanya adalah kota pelajar ini, kota yang amat terkenal dengan nuansa pendidikannya. Aku pun segera turun dan bergegas mengikuti gerak langkah Ustadz Agustian menuju sebuah mobil yang siap mengantarkan kami ke alamat yang dituju. Sejujurnya meski jasad ini sudah bergerak jauh, pikiranku masih tertinggal di kampung halaman. Memori bersama sahabat di kampung halaman serta Maktue Sutri tetap sangat membekas. Tiba-tiba lamunanku terhenti ketika Ustadz Agustian menyentakku pertanda kalau kami sudah tiba. Mataku tak sengaja memandangi tulisan di spanduk biru muda yang terpajang menggelayut di rumah itu, sebuah rumah dimana aku akan menimba ilmu selama bertahun-tahun. Rumah ini juga adalah tempat dimana aku akan dibentuk menjadi insan yang berbudi. Dan rumah ini juga merupakan wadah bagiku untuk menambah wawasan agama islam. Di sini aku juga akan bertemu dan berteman dengan orang-orang baru yang berasal dari berbagai daerah. Ya, Panti Asuhan Alfalah, Sebuah pondok penuh warna. Di sinilah aku akan belajar banyak hal untuk bekal dunia dan akheratku.

Oke, thanks sudah membaca, nantikan bab2 selanjutnya ya. Semoga novel yang sedang saya garap cepat selesai :D