Oleh: Febi Junaidi
Negara
kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk bukan dari keseragaman melainkan
dari adanya keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika tentunya tidak
akan pernah ada tanpa adanya berbagai perbedaan di bangsa ini. Bangsa
Indonesia tentunya terdiri
atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis. Tiap kelompok etnis tersebut mempunyai bahasa daerah
masing-masing yang digunakan untuk
berkomunikasi sesama suku. Bahasa tersebut memegang peranan penting
dalam setiap bidang kehidupan
karena dengan bahasa dapat diungkapkan atau disampaikan isi pikiran penuturnya.
Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting peranannya
sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan maksud dan pokok pikiran.
Selain memiliki peran sentral
sebagai alat komunikasi dalam suatu lingkup etnis tertentu, bahasa daerah juga
memiliki peran sebagai salah salah satu wahana internalisasi nilai pendidikan
karakter anak bangsa. Oleh karena itu, kehadiran berbagai bahasa daerah di
suatu lingkungan masyarakat tentunya menjadi kekayaan dan keunikan bangsa ini
yang patut dilestarikan. Berkat bahasa daerah yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa
nasional, kita bisa mengetahui tentang berbagai kebudayaan masyarakat Indonesia seperti
legenda,
dongeng, dan berbagai cerita masa lalu yang lain. Kita tidak hanya sekadar tahu
tetapi juga diajarkan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu
tentang apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat. Semua terkandung di dalam
cerita-cerita tersebut. Pada akhirnya, kita juga mengerti arti dari nilai yang baik
dan nilai yang tidak baik. Hal ini mengindikasikan bahwa bahasa
daerah memiliki sumbangsih dalam menginternalisasikan nilai karakter terhadap
anak bangsa.
Contohnya
saja cerita rakyat suatu daerah, tarian adat, atau pun foklor lisan lainnya
yang mana mayoritas melibatkan bahasa daerah di dalamnya. Hal ini sebagai bukti
bahwa bahasa daerah
ternyata mempunyai kontribusi yang besar terhadap keberlangsungan kebudayaan suatu bangsa. Benar adanya apabila
bahasa daerah hilang berarti kearifan lokal yang ada pada suatu
masyarakat
juga akan hilang. Kita tidak akan pernah mengetahui adanya dongeng tentang Sangkuriang, Malin
Kundang, Joko Tarub, Legenda Roro Jonggrang, Tangkuban Perahu, dan cerita
tentang Si Kabayan jika tidak ada bahasa daerah yang berperan di sana. Kita
juga tidak mengetahui kalau di dalam setiap cerita itu menyimpan nilai-nilai
kearifan lokal dan nilai karakter yang tidak sedikit jumlahnya.
Akan tetapi, kondisi bahasa daerah saat ini malah sangat memprihatinkan. Bahasa
yang seharusnya menempati ruang yang lebih di tengah kehidupan masyarakat
justru tersingkirkan secara perlahan. Data dari kemdikbud menyatakan bahwa
banyak bahasa daerah yang ternacam punah bahkan beberapa diantaranya sudah
punah. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh kepala badan bahasa kemendikbud, Prof.
Dadang Sunendar yang menyatakan bahwa sampai Oktober
2017, bahasa daerah
yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah
pengamatan. Bahkan,
bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua
Barat belum teridentifikasi. Itu karena bahasa di daerah sana belum saling
memahami sedangkan bahasa di Pulau Jawa, meskipun berbeda-beda, masih bisa
dipahami. Seperti
data dari BPS pada tahun 2011 tentang profil bahasa daerah, 79,5 persen
penduduk masih berkomunikasi sehari-hari di rumah tangga dengan menggunakan
bahasa daerah. Dari tahun 2011 sampai 2017, dari 652 bahasa daerah yang telah
didokumentasikan dan dipetakan, baru 71 bahasa yang telah dipetakan
vitalitasnya. Dari
data tersebut, 19 bahasa daerah terancam punah, 2 bahasa daerah kritis, dan 11
bahasa daerah sudah punah (dikutip dari http://news.liputan6.com/read/3307187/badan-bahasa-11-bahasa-daerah-punah-19-terancamdan-2-kritis).
Kepunahan dan pemudaran bahasa daerah ini tentunya disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya kesadaran berbahasa masyarakat yang kian memudar, pengaruh
eksistensi bahasa asing, pengajaran bahasa daerah yang belum merata di seluruh
wilayah Indonesia, dan pengaruh kehadiran bahasa alay pada kaum remaja.
Maraknya kosa kata baru yang menjadi tren pemuda saat ini tentunya memberikan
dampak buruk terhadap keberlangsungan bahasa daerah. Selanjutnya, data di atas menunjukkan
bahwa eksistensi bahasa daerah saat ini mengalami penurunan. Bahasa daerah
seolah-olah belum memiliki ruang yang layak di rumah sendiri. Kasus ini menggiring
para penggiat bahasa, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat untuk melakukan
tindakan preventif agar bahasa daerah tetap digunakan dengan bangga oleh
masyarakat. Sudah saatnya bahasa daerah digunakan sebagai bahasa ibu di tengah
kehidupan masyarakat.
Bertemali dengan
hal di atas, pada dasarnya usaha pelestarian dan pemertahanan bahasa daerah agar
dapat digunakan sebagai bahasa ibu bagi masyarakat Indonesia sudah diformulasikan
oleh pemerintah Indonesia dalam kebijakan tertentu walaupun belum sepenuhnya
dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Usaha yang tertuang dalam Undang-Undang
No. 24 Tahun 2009 tentang Bendara, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan yang mana menempatkan posisi bahasa daerah di atas bahasa asing nyatanya
belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Aturan tersebut seakan-akan berlaku
hanya untuk penggiat bahasa atau akademisi yang menekuni bidang kebahasaan
semata. Pada dasarnya, ada banyak cara untuk mengoptimalkan eksistensi bahasa
daerah sebagai upaya pelestariannya untuk menjadi bahasa ibu. Pertama,
memaksimalkan pengajaran bahasa daerah di institusi pendidikan. Kedua, membuat
kamus bahasa daerah. Hal ini bisa dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah,
khususnya badan bahasa yang ada di setiap provinsi. Ketiga, adanya kompetisi
yang berkaitan dengan bahasa daerah, seperti mendongeng, pidato, presenter,
ataupun menulis cerita rakyat. Keempat, adanya kebijakan dari pemerintah yang
mewajibkan untuk menggunakan bahasa daerah pada kegiatan kemasyarakatan atau
adat istiadat. Kelima, adanya media lokal yang menggunakan bahasa daerah
sebagai sarana menyampaikan informasi. Terakhir, adanya sosialisasi pentingnya
menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dari pemerintah untuk membangun kesadaran
berbahasa masyarakat serta sebagai bentuk tindakan solutif pengembalian bahasa
daerah menjadi bahasa ibu. Dengan adanya kerjasama berbagai pihak, khususnya masyarakat
dan pemerintah, solusi di atas tentunya bukan hal yang mustahil untuk
direalisasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar