WACANA
BERASAN BEKULE PADA KELOMPOK ETNIK
PASEMAH:
ANALISIS
FUNGSI BAHASA DALAM KOMUNIKASI SOSIAL
Oleh: Febi Junaidi
Abstrak
Febi
Junaidi, 2014, Wacana Berasan Pada Kelompok Etnik Pasemah:”Analisis Fungsi
Bahasa Dalam Komunikasi Sosial”, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Bengkulu. Pembimbing Utama: Drs. Sarwit Sarwono, M.Hum., dan Pembimbing Pendamping: Dra.
Ngudining Rahayu, M.Hum.
Tujuan
penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskripsikan wujud bahasa berasan bekule
pada etnik Pasemah di Kecamatan Kedurang Kabupaten
Bengkulu Selatan (2) Untuk
mendeskripsikan wujud bahasa berasan bekule pada etnik Pasemah di Kecamatan
Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan. Penelitian ini didasari analisis wacana. Bahan-bahan dikumpulkan dengan cara:
melakukan pengamatan langsung, wawancara, perekaman, dan pencatatan. Teknik
analisis data dalam penelitian ini meliputi: (1) Mentranskripsi data tentang
kegiatan berasan bekule. Hal ini dilakukan dengan cara mencatat data kegiatan
berasan bekule yang diperoleh dari hasil pengamatan, perekaman dan wawancara
kepada informan, (2) Menyeleksi data, semua data tentang berasan bekule diseleksi
sehingga terkumpul data yang memang dibutuhkan. (3)Mengklasifikasikan data (4) Menginterpretasikan data
(4) Membuat kesimpulan. Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa: (1) Struktur berasan bekule terdiri atas pembukaan oleh pihak bujang
yang ditandai dengan adanya ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini?,
isi yang disampaikan pihak gadis yang ditandai dengan pernyataan keputusan
kulenye semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke, dan penutup oleh kepala desa yang
ditandai dengan pernyataan mangke tadi la udim kite sepakati bahwe kulenye
semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke mangke kite doakah
semoge tu due tu rukun damai selalu menjalankan rumah tangge nanti, (2) Bahasa
berasan bekule dapat berbentuk kata ganti kami, kite, kamu, dan die, sapaan
nama diri, frasa jadilah amu luk itu dan adik sanak dusun laman, kalimat
inversi dan pelesapan subjek, dan ungkapan seikat pinggang, negeri due tungguan
satu, berat same dipikul ringan same dijinjing dan ungkapan nga sape bada aku
nyampaika cerite ini. (3) Bahasa berasan bekule memiliki fungsi ideasional atau
referensial. Hal ini dikarenakan apa yang disampaikan pada kegiatan berasan
bekule merupakan representasi dari ide masyarakat bukanlah ide personal. Selain
itu, bahasa berasan bekule juga memiliki fungsi interpersonal yaitu berkaitan
dengan peran bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial serta
mengungkapkan peran-peran sosial.
Kata kunci: Berasan bekule, Fungsi bahasa, Pasemah.
Pendahuluan
Bahasa
merupakan suatu sistem komunikasi yang memungkinkan terjadinya interaksi
antarmanusia dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa merupakan media komunikasi
yang selalu diperlukan oleh manusia untuk menyampaikan pikiran, perasaan, ide
dan keinginan kepada orang lain. Dengan adanya bahasa, manusia dapat menjalin
komunikasi antarsesama dalam kehidupan sehari-hari.
Selain
digunakan dalam kegiatan berinteraksi antaranggota masyarakat, bahasa juga
digunakan dalam kegiatan kebudayaan. Contohnya penutur bahasa Pasemah di
kecamatan Kedurang Bengkulu Selatan yang masih menggunakan bahasa Pasemah dalam
melaksanakan berbagai kebudayaan. Hal itu merupakan salah satu upaya masyarakat
dalam melestarikan bahasa daerah setempat. Penutur bahasa Pasemah tersebut pada
dasarnya dibagi menjadi dua penutur yaitu penutur bahasa Pasemah di Kedurang
dan di Padang Guci yang sekarang juga sudah termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Kaur (Hartaty, 2001: 1).
Berdasarkan
pengamatan yang penulis lakukan, bahasa Pasemah masih digunakan dalam kegiatan
berkomunikasi sehari-hari maupun dalam kegiatan kebudayaan lainnya di Kecamatan
Kedurang dan Padang Guci. Sebagai bahasa daerah, bahasa Pasemah melambangkan
nilai sosial budaya daerah yang juga mencerminkan kehidupan masyarakat Pasemah.
Oleh karena itu, bahasa Pasemah yang merupakan salah satu unsur kebudayaan
nasional perlu dikaji lebih jauh dan dilestarikan karena bahasa daerah
merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang hidup sehingga diperlukannya suatu
kajian yang mendalam mengenai bahasa-bahasa daerah tersebut
Salah
satu kebudayaan suku Pasemah yang di dalamnya memerlukan bahasa adalah kegiatan
berasan. Pada kebudayaan Pasemah, kegiatan berasan ini terdiri atas empat tahap, yaitu berasan muda-mudi, ngurusi rasan,
madui rasan, dan berasan bekule. Kegiatan berasan didasari oleh adanya suatu
perkenalan antara bujang dan gadis yang merujuk pada rasa saling mencintai dan mempunyai keyakinan untuk
membina yang lebih jauh, dalam arti ingin meneruskan hubungan tersebut
kejenjang pernikahan. Dalam adat Pasemah, hal ini disebut berasan muda-mudi.
Setelah pasangan tersebut bersepakat untuk membina hubungan yang serius tentu
saja mereka akan saling mengenalkan pasangan ke orang tua masing-masing. Pada
masyarakat Pasemah pengenalan tahap pertama kepada orang tua didahului oleh
pihak bujang, di mana seorang bujang membawa pasangannya dan mengenalkan
pasangan tersebut pada orang tuanya. Selanjutnya begitu juga yang dilakukan
oleh si gadis.
Dalam
perkenalan tersebut, tentu saja menghasilkan suatu bahasan atau keputusan dari
orang tua kepada pasangan tersebut mengenai apakah perkenalan ini layak
dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila keputusan tersebut merujuk ke
jenjang penikahan tentu saja di keluarga masing-masing pasangan tersebut akan
membicarakannya ke kerabat masing-masing. Dalam pembicaraan kekerabat
masing-masing tersebut tentu saja menghasilkan suatu keputusan kapan akan
melangsungkan pertemuan keluarga besar antara pihak bujang dan gadis yang akan
diwakili oleh beberapa orang dari kerabat masing-masing. Pada kebudayaan
Pasemah, kegiatan tersebut disebut ngurusi rasan. Kegiatan ngurusi rasan ini
bertujuan untuk memastikan apakah si bujang benar-benar telah menyampaikan
keinginannya pada keluarga si gadis.
Pertemuan
antara dua pihak keluarga ini dihadiri oleh dua orang utusan dari calon
mempelai laki-laki dan biasanya utusan tersebut adalah kerabat terdekatnya. Pertemuan
ini dimaksudkan untuk memastikan rencana calon mempelai laki-laki untuk menikah
dengan calon mempelai perempuan tersebut. Dalam pertemuan ini, utusan dari
calon mempelai laki-laki bertanya kepada bapak calon mempelai perempuan tentang
barang yang telah diberikan si bujang tersebut. Setelah itu, orang tua calon
mempelai perempuan pun menanyakan hal tersebut kepada anak gadisnya. Setelah
semuanya pasti, pihak bujang menanyakan kepada orang tua si gadis mengenai
hal-hal yang mereka butuhkan dalam melaksanakan pernikahan nanti. Biasanya
pihak perempuan menginginkan sejumlah uang tertentu untuk biaya pesta
pernikahan. Orang tua bujang pun biasanya menyanggupi hal itu dan berjanji akan
mengantarkan uang tersebut pada beberapa malam berikutnya.
Beberapa
malam berikutnya, utusan dari pihak bujang datang kembali ke rumah gadis itu.
Dalam hal ini, orang tua sang gadis telah memanggil beberapa kerabatnya untuk
menyambut kedatangan mereka. Dalam kesempatan inilah pihak bujang memberikan
uang permintaan kepada pihak gadis tersebut. Dalam kebudayaan Pasemah, kegiatan
ini disebut madui rasan. Biasanya komunikasi pada suasana ini penuh dengan basa
basi. Setelah jamuan makan, kedua belah pihak keluarga bersepakat tentang
segala persyaratan perkawinan baik tata cara adat maupun tata cara agama islam.
Pada kesempatan itu pula ditetapkan kapan hari berlangsungnya pernikahan.
Setelah
segala sesuatunya sudah ditetapkan. Maka, sampailah pada acara pernikahan.
Namun, sebelum diadakan acara pernikahan, dalam kebudayaan Pasemah terdapat
satu jenis berasan lagi, yaitu berasan bekule. Berasan bekule ini bertujuan
untuk menetapkan tempat tinggal pasangan tersebut
setelah menikah nanti. Pada kebudayaan Pasemah terdapat dua kule, yaitu kule
raje-raje belapik emas dan kule raje-raje dide belapik emas. Kule raje-raje
belapik emas mengharuskan si bujang tinggal di rumah gadis atau dikenal dengan
istilah ambik anak. Sedangkan kule raje-raje dide belapik emas, pasangan
tersebut bebas memilih tempat tinggal sesuai dengan yang mereka inginkan, baik
di rumah bujang, di rumah gadis, ataupun merantau ke daerah lain. Pada
masyarakat Pasemah khususnya Kedurang, saat ini biasanyamenggunakan kule
raje-raje dide belapik emas. Berikut contoh penggunaan bahasa pada kegiatan
berasan bekule.
PB :Assalammualaikum.warrahmatullahi wabarakatuh. Adik sanak Simpang Tige sekalian
nga sape kire-kire aku manggurka cerite
kami ni? karene amu ku pandang memang la alap gale, la ringkih gale (sambil melihat ke kiri dan ke kanan). Anye amu gegalenye tini, ndik kah
ketauk’an nga aku. Nah, kire-kire adik
sanak sekalian nga sape tauk aku nyampaika cerite ini?
“Assalammualaikum
warrahmatullahi wabarakatuh.
Adik sanak Simpang Tiga sekalian dengan siapa kira-kira penulis menyampaikan cerita kami ini? karena kalau dilihat memang sudah bagus semua, sudah elok semua (sambil melihat ke kiri dan ke kanan). Tapi kalau samuanya, tidak akan kelayanan dengan penulis. Nah, kira-kira adik sanak sekalian dengan
siapa penulis menyampaikan cerita ini?
AS : Ngah
jeme yi di damping kamu tula.
“Dengan
orang yang di dekat dengan kamu itulah”.
Dari
percakapan di atas terlihat bahwa bahasa berasan bekule ini memiliki ciri khas
dan penuh dengan basa-basi. Dari contoh kutipan di atas terlihat bahwa bahasa
berasan bekule ini diawali dengan salam
sebagai pengantar pembicaraan serta diawali juga dengan pertanyaan kepada siapa
pihak bujang akan menyampaikan maksud kedatangnnya. Itulah keunikan kegiatan
berasan bekule.
Oleh
karena itu, berasan bekule merupakan suatu kebudayaan yang harus dilestarikan
karena memilki keunikan yang merupakan identitas masyarakat setempat. Keunikan
dari berasan dapat dilihat dari bentuk dan penggunaan bahasanya, yakni bahasa
dalam kegiatan berasan ini merupakan representasi dari ide masyarakat, bukan
ide individu sehingga segala sesuatunya tersusun secara sistematis sehingga
bahasa berasan bekule perlu dilestarikan karena memiliki fungsi sebagai media
komunikasi adat.
Penelitian
kebudayaan dan bahasa Pasemah ini sebelumnya
telah ada. Dalam penelitian tersebut, Hartaty (2001) mengkaji bentuk dan
makna bahasa berasan di daerah Padang Guci. Namun, Ia meneliti pada kegiatan
berasan pada tahap berasan muda-mudi, ngurusi rasan, dan madui rasan. Dalam
penelitiannya, Hartaty menyimpulkan bentuk bahasa yang ditemui saat berasan
sangatlah khas. Kekhasannya berupa sering munculnya suatu kata yang mempunyai
makna berbeda pada saat di luar konteks berasan. Sedangkan makna bahasa yang
ditemui saat berasan ada empat, yaitu makna idiomatik, makna konstruksi, makna
leksikal, dan pragmatik. Satria Adi Pirnawan (2012) meneliti tentang bahasa
bejerum (mengundang secara lisan) pada masyarakat Pasemah di Kedurang, Bengkulu
selatan. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa bahasa bejeRum ‘mengundang’
memiliki fungsi sebagai ungkapan pernyataan sikap dari penutur, sebagai
direktif (mengajak), dan fatik (sebagai media penjalin hubungan sosial yang
baik) antara penjeRum ‘pengundang’ dengan keluarga yang diundang. Dari segi
makna, bahasa bejeRum ‘mengundang’ memiliki makna konstruksi dan makna
kontekstual. Dikaji dari sudut konstruksi, dalam bahasa bejeRum ‘mengundang’
terdapat kata ganti –nye, -e, dan die yang berfungsi sebagai ungkapan
kepemilikan, sedangkan dikaji dari segi makna kontekstual, di dalam bahasa
bejeRum ‘mengundang’ terdapat frase-frase penanda bahasa bejeRum ‘mengundang’
yang diucapkan penjeRum ‘pengundang’ pada saat kegiatan bejeRum ‘mengundang’
dilakukan yaitu frase jadilah jak disinilah ‘cukup dari sini saja’, dan dide kah
lame ‘tidak akan lama’.
Selain
itu, Fitra Youpika (2013) mengkaji tentang tradisi begadisan sebagai media
komunikasi sosial bujang dan gadis di Padang Guci. Dalam penelitiannya.
dinyatakan bahwa Tradisi begadisan merupakan sarana atau media komunikasi yang
melembaga secara sosial bagi bujang dan gadis pada mayarakat Padang Guci untuk
mencari pacar atau pasangan kekasih yang masih dilakukan hingga saat ini.
Kegiatan begadisan tersebut terdiri atas tiga tahapan yang dilalui yaitu: tahap
Negur Gadis, tahap inti (Begadisan), tahap Pamitan. Sedangkan Aspek kebahasaan
dalam tradisi begadisan terdapat penggunaan kata sapaan untuk orang yang lebih
tua dan orang yang dihormati dengan kata “kaba” yang berarti dirimu dalam
bahasa Indonesia diganti dengan kata “kamu” dan
“aku” diganti dengan kata “kami”.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis berminat untuk meneliti bahasa Pasemah yang
digunakan pada berasan bekule di masyarakat Kedurang. Untuk memperjelas
aspek-aspek yang akan diteliti, maka penulis akan membahas dan meneliti
mengenai wujud dan fungsi bahasa dalam kegiatan berasan bekule pada masyarakat
Pasemah yang akan penulis bahas dalam bab selanjutnya. Dalam penelitian ini,
penulis juga akan lebih fokus pada
kegiatan berasan bekule yang ada di Kecamatan Kedurang. Oleh karena itu, guna
melestarikan kebudayaan berasan bekule pada masyarakat Pasemah tersebut, dalam
penelitian ini penulis mengangkat judul “Wacana
Berasan Pada Kelompok Etnik Pasemah: Analisis Fungsi-Fungsi Bahasa Dalam
Komunikasi Sosial”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang didapat adalah :
1. Bagaimanakah wujud bahasa berasan bekule pada masyarakat Pesemah di kecamatan Kedurang, Bengkulu Selatan?
2. Bagaimanakah fungsi bahasa berasan bekule pada masyarakat Pesemah di kecamatan Kedurang, Bengkulu Selatan?
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah penelitian
yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada dalam suatu fenomena
yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau
yang dicatat berupa pemerian bahasa yang biasanya dikatakan sifatnya seperti
potret dan paparan seperti apa adanya (Sudaryanto,1988:62). Begitu juga
pendapat Nazir (1988:63) yang mengatakan
bahwa metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, serta sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk
memberikan gambaran secara objektif tentang bahasa Pasemah pada saat bejeRum
secara akurat dan sesuai dengan pemakaian bahasa yang digunakan oleh
penuturnya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Berasan Pada Kelompok Etnik Pasemah
Dalam adat masyarakat Pasemah berasan merupakan suatu
proses perundingan antara pihak calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan sebelum melaksanakan pernikahan. Hal yang harus dirundingkan tersebut
tentunya sangatlah kompleks. Dari data yang diperoleh, berasan dalam adat
masyarakat Pasemah ini terjadi melalui empat tahap, yaitu berasan muda-mudi,
ngurusi rasan, madui rasan, dan rasan bekule.
2. Berasan bekule
Penelitian ini dilakukan di
desa Lubuk Ladung (data 1) , Simpang Tiga (data 2), dan Sukarami kecamatan
Kedurang Ilir kabupaten Bengkulu Selatan (data 3). Semua acara berasan bekule
dan akad nikah ini dilaksanakan di masjid masing-masing desa tersebut. Semua
keputusan semua acara berasan bekule
tersebut adalah Semende raje-raje dide belapik emas merunggu di mana suka,
artinya kedua mempelai tersebut nantinya bebas ingin tinggal atau hidup di mana
pun. Pada acara berasan bekule ini, pihak bujang datang ke rumah pihak gadis
dengan membawa carikan bekule (syarat kegiatan berasan bekule) yang terdiri atas
ramuan sirih yang berisi: Gambir, mbaku, sirih tujuh lembar, kapur, pinang,
lemang (20 batang dibagi dua ikat), bujang 2 orang, gadis 2 orang, ibu-ibu
seorang, dan bapak-bapak seorang. Saat mereka tiba, pihak gadis telah
mempersiapkan tempat untuk para tamu adat tersebut untuk berteduh sejenak.
Setelah mereka berteduh sebentar, pihak gadis pun mengajak para tamu adat
tersebut ke masjid untuk melaksanakan berasan bekule. Dalam adat Pasemah,
berasan bekule tersebut mengahasilkan sebuah keputusan tertentu, baik semende
raje-raje dide belapik emas, dan semende
raje-raje belapik emas. Kule semende raje-raje belapik emas ini berarti
bahwa kedua mempelai tersebut diwajibkan hidup atau tinggal di rumah pihak
mempelai perempuan, atau dalam adat Pasemah dikenal dengan istilah ambik anak.
3. Wujud bahasa berasan bekule
Bahasa
berasan bekule pada dasarnya
berbentuk percakapan antara pihak bujang dan pihak gadis yang dilaksanakan
menjelang dilaksanakannya acara pernikahan. Percakapan tersebut tentunya
diwakilkan antara salah seorang yang diutus atau dipercaya baik dari pihak
bujang maupun pihak gadis. Berasan bekule
ini dipandu oleh seorang pembawa acara. Berasan
bekule ini dimulai oleh pihak bujang dan diakhiri oleh kata sambutan dari
kepala desa tempat terjadinya pernikahan. Kata sambutan kepala desa tersebut
bertujuan untuk mengokohkan kembali keputusan berasan bekule antara pihak bujang dan pihak gadis yang telah
dilaksanakan sebelumnya.
4.3.1 Struktur berasan
bekule terdiri atas pembukaan oleh pihak bujang yang ditandai dengan adanya
ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini?, isi yang disampaikan pihak gadis
yang ditandai dengan pernyataan keputusan kulenye semende raje-raje dide
belapik emas merunggu di mane suke, dan penutup oleh kepala desa yang ditandai
dengan pernyataan mangke tadi la udim kite sepakati bahwe kulenye semende
raje-raje dide belapik emas merunggu di mane suke mangke kite doakah semoge tu
due tu rukun damai selalu menjalankan rumah tangge nanti, (2) Bahasa berasan
bekule dapat berbentuk kata ganti kami, kite, kamu, dan die, sapaan nama diri,
frasa jadilah amu luk itu dan adik sanak dusun laman, kalimat inversi dan
pelesapan subjek, dan ungkapan seikat pinggang, negeri due tungguan satu, berat
same dipikul ringan same dijinjing dan ungkapan nga sape bada aku nyampaika
cerite ini.
4. Fungsi bahasa berasan bekule
Berasan bekule
merupakan komunikasi antara dua keluarga yang mana dalam komunikasi tersebut
mereka sudah saling mengetahui apa yang akan disampaikan. Hal ini dikarenakan
komunikasi tersebut merupakan suatu komunikasi adat yang telah menjadi suatu
ciri khas dan konvensi masyarakat setempat. Oleh karena itu, pada dasarnya
pihak bujang dan pihak gadis telah mengetahui tujuan dari komunikasi tersebut.
Mereka juga sudah mengetahui hal-hal yang akan disampaikan pada komunukasi itu.
Keputusan yang diperoleh dari kegiatan berasan
bekule juga merupakan keputusan adat yang harus diterima oleh pihak bujang.
Dengan demikian. bahasa berasan bekule ini berfungsi sebagai ideasional yakni untuk
merepresentasikan ide suatu masyarakat. Menurut Halliday (dalam Sukino, 2004)
fungsi ideasional bahasa berkaitan dengan peran bahasa untuk penggunaan isi,
pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia nyata, termasuk dunia dalam diri kesadaran sendiri.
Fungsi ini dilandasi adanya pemikiran bahwa bahasa digunakan untuk mengggambarkan pengalaman.
Fungsi ideasioanal yang
dimaksudkan di atas sama halnya dengan fungsi referensial. Menurut Chaer dan
Agustina (2004:12) Fungsi referensial bertujuan untuk membicarakan objek yang
ada di sekelilingnya. Seperti halnya pada data berikut, penutur membicarakan
objek yang ada di sekelilingnya yaitu gadis,
bujang, kerebai, dan batin. Saat penutur sedang mengadakan berasan bekule, orang yang dibicarakan
tersebut sebenarnya juga terlibat dalam kegiatan berasan bekule. Mereka juga mendengar langsung percakapan antara
pihak gadis dan pihak bujang tersebut sehingga seluruh yang hadir dalam
kegiatan ini mengetahui keputusan yang akan disepakati. Meski demikian, apa
yang disampaikan tersebut sebenarnya telah terencana sebelumnya. Hal ini
dikarenakan susunan komunikasi berasan
bekule ini sudah menjadi konvensi adat pada masyarakat setempat. Dalam
konteks ini, penutur juga telah mengetahui siapa saja yang terlibat dan apa
saja yang dipersiapkan pada kegiatan berasan
bekule tersebut. Berikut contoh kutipan fungsi bahasa berasan bekule sebagai referensial.
PB:
…..Mane mengenai carikan itu kami
ni mbatak’I gadis, mbatak bujang,mbatk’I kerebai, mbatak’I batin. Batinnye nyelah aku, serte mbatak buntalan.
“Yang mana
mengenai care carikan itu kami
ini membawa gadis, membawa bujang, membawa ibu-ibu, membawa
bapak-bapak. Yang bapak- bapaknya adalah
aku sendiri, serta membawa
barang syarat bekule”.
Berdasarkan
adat Pasemah, kegiatan berasan bekule
ini memiliki persyaratan tertentu yang disebut dengan istilah care carikan bekule. Care carikan bekule ini adalah
persyaratan berasan bekule yang harus
dipenuhi oleh pihak bujang ketika akan datang ke rumah gadis. Berasan bekule dalam adat Pasemah memang
dilaksanakan di rumah gadis. Hal ini dikarenakan berasan bekule dilaksanakan sebelum akad nikah, sedangkan akad
nikah tersebut lazimnya di rumah gadis. Pelaksaan akad nikah di rumah gadis ini
dikarenakan suatu pernikahan tentunya membutuhkan wali. Care carikan bekule yang harus dipersiapkan pihak bujang menurut
adat Pasemah adalah ramuan sirih (berisi gambir, mbaku, sirih tujuh lembar,
kapur, pinang), lemang (20 batang
dibagi dua ikat), bujang 2 orang, gadis 2 orang, Ibu-ibu seorang, dan
bapak-bapak seorang. Seperti halnya data di atas, pihak bujang telah
menyampaikan care carikan berasan bekule.
Pihak bujang telah menyebutkan care
carikan berasan bekule yang terdiri atas bujang, gadis, kerebai dan batin.
Sementara itu, kata ‘buntalan’ pada kutipan di atas mengacu pada benda-benda
lain seperti ramuan sirih dan lemang.
Ramuan sirih tersebut berguna sebagai lambang penghormatan terhadap pihak
gadis. Selain itu, Hal tersebut mengandung makna dengan adanya ramuan sirih
tersebut diharapkan pernikahan kedua pengantin nantinya bertahan lama hingga
usia senja layaknya sepohon sirih yang menjulang tinggi menyatu dengan pohon
lain. Sedangkan lemang tersebut mengandung makna agar dua keluarga tersebut
(keluarga laki-laki dan keluarga perempuan) menyatu seperti layaknya serumpun
bambu. Pemisahan ikatan lemang yang menjadi dua ikat tersebut diibaratkan
dengan dua keluarga. Sedangkan gadis, bujang, bapak-bapak, dan ibu-ibu tersebut
hanya sekedar pendamping pengantin. Namun demikian, bapak-bapak tersebut bertugas menyampaikan berasan bekule kepada pihak gadis
nantinya.
Selain fungsi ideasional atau
referensial, bahasa berasan bekule
juga memiliki fungsi interpersonal yaitu berkaitan dengan peran bahasa untuk
membangun dan memelihara hubungan sosial,
untuk
mengungkapkan peran-peran sosial termasuk peran komunikasi yang diciptakan oleh
bahasa itu Halliday (dalam Sukino, 2004). Contoh
fungsi interpersonal bahasa berasan
bekule adalah sebagai berikut. .
PB: Au
nyela luluk beulang tadi, amu kami tu kah nerime gale. lukmane kina keputusan nanye kami terime. Cuma
di dalam nerime, yak ade tini ye kami larang. Ye dide kami terime seghuma
ndik setangge.
‘Ya
seperti yang kami katakan tadi, kalau kami akan nerima semuanya. Apapun keputusannya,
kami terima. Cuma walaupun
nerima, Ada yang tidak
kami harapkan. Yang tidak kami
terima satu rumah beda tangga.
Pada kutipan di atas, pihak bujang mengatakan akan menerima apapun keputusan berasan
bekule yang akan diberikan oleh pihak gadis. Namun demikian,
pihak bujang tidak menginginkan satu hal yaitu ‘satu rumah beda tangga’. Ungkapan
ini mengandung makna adanya pertentangan antara bujang dan gadis nanti ketika menjalankan rumah tangga. Beda
tangga pada ungkapan tersebut berarti adanya perselisihan atau perbedaan
persepsi antara mereka sehingga rumah tangga tersebut nantinya tidak akan
berjalan dengan harmonis. Oleh karena itu, ungkapan tersebut pada dasarnya
berlaku secara universal bagi semua orang tua terhadap pernikahan anaknya. Tidak ada orang tua yang
menginginkan terjadinya
perselisihan terhadap rumah tangga anaknya. Semua orang tua tentunya mengahrapkan anaknya membentuk
keluarga yang rukun dalam menjalankan rumah tangga.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka
dapat penulis simpulkan bahwa:
Yang pertama, kegiatan berasan pada masyarakat Pasemah merupakan suatu
wacana karena berasan adalah suatu proses komunikasi antara pihak bujang dan
pihak gadis yang memiliki tujuan tertentu. Berasan pada masyarakat Pasemah terdiri
atas empat tahap, yaitu tahap berasan muda-mudi, ngurusi rasan, madui rasan,
dan berasan bekule. Keputusan berasan bekule dalam adat Pasemah terdiri atas
dua jenis yaitu semende raje-raje dide belapik emas dan semende raje-raje
belapik emas. Namun, masyarakat Pasemah biasanya menggunakan semende raje-raje
dide belapik emas.
Kedua, struktur berasan bekule
terdiri atas pembukaan oleh pihak bujang yang ditandai dengan adanya ungkapan
nga sape bada aku nyampaika cerite ini?, isi yang disampaikan pihak gadis yang
ditandai dengan pernyataan keputusan kulenye semende raje-raje dide belapik
emas merunggu di mane suke, dan penutup oleh kepala desa yang ditandai dengan
pernyataan mangke tadi la udim kite sepakati bahwe kulenye semende raje-raje
dide belapik emas merunggu di mane suke mangke kite doakah semoge tu due tu
rukun damai selalu menjalankan rumah tangge nanti, Wujud bahasa berasan bekule terdiri atas:
penggunaan kata ganti kami, kamu, die, kata sapaan dengan nama diri, frasa
jadilah amu luk itu dan variasinya, frasa adik sanak dusun laman, ungkapan ngah
sape badah aku manggurka cerite ni, negeri due tungguan satu, seikat pinggang,
berat same dipikul ringan same dijinjing, seghuma ndik setangge, kalimat
inversi dan pelesapan subjek.
Ketiga, Pada kegiatan berasan bekule, bahasa memiliki fungsi
ideasional atau referensial yaitu untuk merepresentasikan ide masyarakat dan
membicarakan objek yang ada di sekelilingnya dan fungsi interpersonal yaitu
berkaitan dengan peran bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial,
untuk mengungkapkan peran-peran sosial termasuk peran komunikasi yang
diciptakan oleh bahasa itu.
Saran
Penelitian ini hanya membahas
mengenai wujud dan fungsi bahasa saat berasan bekule pada masyarakat Pasemah di
Kedurang Bengkulu Selatan. Penulis mengharapkan adanya penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan bahasa saat berasan bekule khususnya pada bidang,
aspek, dan ruang lingkup lain yang belum penulis bahas dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agni, Binar. 2002. Sastra
Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest
Publising.
Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi
Bahasa Indonesia. Malang:
A3.
Aziez, Furqanul dan Alwasilah, A. Chaedar. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya .
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2007. Analisis Wacana Kritis.
Bandung: Yrama Widya.
Darmastuti, Rini. 2006. Bahasa Indonesia Komunikasi.
Yogyakarta: Gava Media.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Wacana Pemahaman dan
Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Refika
Aditama.
Hartaty, Rili. 2001. Bahasa Besemah Saat Berasan
Pernikahan. Skripsi. Universitas
Bengkulu.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2007. Metode
Penelitian Bahasa. Jakarta: PT
Raja Grafindo.
Nazir, Moh. Metode
Penelitian. Jakarta: Ghalia.
Parera, J.D. 2009. Dasar-Dasar
Analisis Sintaksis. Jakarta:
Erlangga..
Rahardi, R. Kunjana. 2008. Pragmatik Kesantunan
Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Samsuri. 1975. Analisis
Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Jakarta: Kencana.
Sudaryanto. 1988. Metode
Linguistik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sukino. 2004. Memahami
Wacana Bahasa Indonesia. Bengkulu:
Unib Press.
Sumadi. 2009. Sintaksis
Bahasa Indonesia. Malang: A3.