BAB I
Welcome To Yogyakarta (KIDUNG CINTA SANG DHUAFA)
Aku termenung duduk di kursi tua itu. Di teras rumahku, ku
dengar suara ibu dari negara tetangga nampak nanar. Aku harus mengambil sebuah
keputusan yang akan menentukan masa depanku. Begitulah keadaan keluarga kami.
Semenjak perceraian ayah dan ibuku semuanya jadi berantakan. Hidupku menjadi
bingung menentukan masa depan. Aku tertegun membisu. Ibu terus menanyaiku meminta
jawaban pasti bak seorang dosen yang sedang menguji persidangan tugas akhir
mahasiswanya. Suasana tegang dan getar. Ya, aku setuju dengan ibu. Aku siap
melanjutkan sekolah jenjang SMA ke kota pelajar, Jogja. Aku siap tinggal di
Panti Asuhan yang menurut pikiranku penuh dengan kemelaratan. Aku siap
menanggung semuanya. Aku melakukannya demi kebahagiaan ibu. Setelah pengakuan
itu, kudengar suara ibu di balik telepon nampak bahagia. Ku yakin wajahnya sedang
bersinar indah bagai sang
raja siang di pagi hari.
Aku yakin mukanya nampak
cerah dan puas sumbringah. Ibu sepertinya sangat bahagia dengan keputusan yang aku
ambil.
Ya, aku melakukannya demi ibuku tersayang. Sebab aku sangat tidak ingin membuat Ia
kecewa. Ayahku juga tidak pernah
kembali lagi. Perpisahan mereka membuat masa depanku terombang-ambing seperti
ombak di lautan. Perpisahan mereka juga membuat ibuku mengambil keputusan yang
tidak aku inginkan. Ibuku kembali merantau ke Negara tetangga sejak aku masih
kelas empat sekolah dasar. Ibuku menjadi TKI di Malaysia untuk kedua kalinya.
Sejujurnya, aku tidak mendukung semua itu, melihat berbagai berita ekstrim di
televisi yang membuat aku sangat khawatir keadaan ibu di sana. Namun apa
hendak dikata, keputusan ibu tidak akan tergoyahkan, lagi pula ibu tentunya
lebih tau apa yang harus ia lakukan. Sementara itu, Randi, kakak tunggalku
sudah setahun merantau di kota Batam.
Dulu,
ketika ibu berada di Malaysia. Sepuluh tahun lamanya aku dan kak Randi tinggal
di rumah Maktue
Sutri, kakak tertua dari ibuku. Maktue
Sutri merawat aku dan Kak Randi
dengan sepenuh hati sehingga aku merasa ia juga seperti ibu kandungku. Maktue Sutri merawatku dari usia dua tahun hingga aku menamatkan SMP. Dengan
segala keterbatasan keluarganya, Beliau tetap tulus mau menampung kami berdua. Sebenarnya Kesusahan
memang sudah menerpaku sejak kecil. Kebahagiaan itu rasanya lari dan semakin
menjauh dari hidupku. Ketika SMP aku selalu berjalan kaki sekitar tiga kilo
meter menuju sekolahku. Dengan semangat yang menjulang, aku pun mampu menamatkan studiku di SMP Negeri 19 Bengkulu
Selatan. Setelah mengeketahui bahwa aku sudah lulus
dari Ujian Nasional, rupanya ibu sudah menyusun rencana untuk kelanjutan pendidikanku. Ibu sudah berbicara banyak hal dengan Ustad Agustian
tentang diriku. Ibu sepenuhnya
sudah menitipkan aku dengannya. Kesanggupanku
untuk ikut Ustad Agustian ke Jogja
adalah kabar gembira bagi Ibu.
Waktu terasa
begitu cepat berlalu. Aku merasa jarum jam berputar tak seperti biasanya. Aku
telah mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, termasuk persyaratan
pendaftaran sekolah ke Jogja nantinya. Koperku terlihat penuh tak berkapasitas lagi. Aku akan pergi dengan tekad yang
bulat dapat berhasil di kota pelajar nantinya. Ku pandang raut muka Maktue
Sutri memerah. Butiran bening terlihat semakin terbendung
ingin berjatuhan di pelupuk matanya. Kesedihan terpancarkan dari geriknya. Aku
pun merasa sangat miris. Hati ini rasanya tersanyat sembilu ketika sejenak ku ingat bahwa keluarga kami terpisah dimana-mana. Persis seperti pecahan gelas
yang rasanya mustahil akan utuh kembali. Ku peluk Maktue Sutri dengan erat, ku cium wajah dan tangannya sebagai
permohonan restu. Suasana semakin haru. Tetangga dekat kami pun berdatangan menyaksikan keberangkatanku. Tak lupa beberapa
tentangga memberikan lembaran uang dua puluh hingga lima puluh ribuan padaku.
Saat ini aku merasa diibahi orang lain. Kebahagiaan itu rasanya benar bukan
milik kami dan tak akan pernah bersamaku. Ku salami semua tetanggaku. Ku langkahkan kakiku menuju
bus jurusan Manna-Jogja itu. Sebuah
bus tua renyah yang tinggal menanti masa
pensiun. Perjalanan ke jogja cukup lama, memakan waktu hingga tiga hari. Aku tidak tahu apakah ini memang disebabkan
oleh jarak yang memang jauh atau dikarenakan kondisi bus yang sangat
memprihatinkan. Bersama Ustad Agustian, aku menikmati perjalanan panjang itu. Dan suatu ketika dikala
Bus itu singgah di peraduannya, Ustad Agustian
jua tak lupa mengajakku ke sebuah rumah makan sederhana bersama penumpang
lainnya untuk mendiamkan musik keroncong di perutku.
Setelah banyak menghabiskan waktu
berhari-hari di perjalanan, Bus yang kami tumpangi pun mulai memasuki kwasan
kota Jogja. Aku tidak membayangkan
bahwa Kota Jogja akan sesederhana ini. Tak jauh berbeda dengan Bengkulu. Kota
yang sederhana dan Adem ayem. Hanya
saja infrastruktur dan prasarana lainnya tentunya Jogja memiliki nilai lebih.
Hamparan padi yang sedang menguning di tepian jalan menuju kota ini menciptakan kesan alami nan indah. Menyejukkan dan
menentramkan jiwa. Para pengendara sepeda pun lalu-lalang di tengah kota menuju
tujuannya masing-masing. Awalnya aku berasumsi bahwa Jogja adalah kota yang amat ramai, bising, dan dilengkapi dengan bangunan yang
tinggi mencakar langit. Dugaanku langsung terbantahkan. Semua yang aku bayangkan tak
sesuai kenyataan. Kota
ini ternyata kota yang sederhana.
Masyarakatnya ramah tama serta
sangat menjaga etika dan norma agama.
Tak lama
setelah itu, Bus pun berhenti pertanda kalau kami sudah sampai. “Terminal
Giwangan” begitu tulisan yang sempat kubaca. Pikiranku melayang jauh, akhirnya
diri ini sudah menginjakkan kaki ke kota yang katanya adalah kota pelajar ini,
kota yang amat terkenal dengan nuansa pendidikannya. Aku pun segera turun dan
bergegas mengikuti gerak langkah Ustadz Agustian menuju sebuah mobil yang siap
mengantarkan kami ke alamat yang dituju. Sejujurnya meski jasad ini sudah
bergerak jauh, pikiranku masih tertinggal di kampung halaman. Memori bersama sahabat
di kampung halaman serta Maktue Sutri
tetap sangat membekas. Tiba-tiba lamunanku terhenti ketika Ustadz Agustian
menyentakku pertanda kalau kami sudah tiba. Mataku tak sengaja memandangi
tulisan di spanduk biru muda yang terpajang menggelayut di rumah itu, sebuah
rumah dimana aku akan menimba ilmu selama bertahun-tahun. Rumah ini juga adalah
tempat dimana aku akan dibentuk menjadi insan yang berbudi. Dan rumah ini juga
merupakan wadah bagiku untuk menambah wawasan agama islam. Di sini aku juga
akan bertemu dan berteman dengan orang-orang baru yang berasal dari berbagai
daerah. Ya, Panti Asuhan Alfalah, Sebuah pondok penuh warna. Di sinilah aku
akan belajar banyak hal untuk bekal dunia dan akheratku.
Oke, thanks sudah membaca, nantikan bab2 selanjutnya ya. Semoga novel yang sedang saya garap cepat selesai :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar