Memeluk Ketidakmungkinan
Karya:
Febi Junaidi
Kulihat
wajah ibu begitu lesu dan penuh kebingungan. Kutahu, banyaknya tagihan hutang
yang datang ke gubuk kami beberapa hari yang lalu membuat ibu tak bisa
berkutik, melainkan hanya bisa memandangi lembaran kertas yang berisi rincian
hutang itu. Aku pun demikian, hanya bisa mematung tak berguna. Ingin rasanya
membantu peliknya masalah yang sedang ibu hadapi, namun apa hendak dikata, aku
sendiri hanya seorang pelajar SMA yang tak berpenghasilan, malahan aku masih
menumpukkan beban yang berat kepada ibu.
Aku
benar-benar merasa seorang anak laki-laki yang tiada guna. Di usiaku yang
seperti ini, kusadari seharusnya aku sudah mampu menjaga bahkan membantu ibu
memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi entah mengapa, aku tiada gentar, aku sangat
yakin bahwa ibu adalah perempuan yang tegar dan hebat, karena biasanya ibu
senantiasa mampu mengatasi beragam masalah yang datang menerpa kami. Aku pun
tahu bahwa Ibu saat ini tiada mempunyai uang sedikitpun untuk melunasi
hutang-hutang itu. Jangankan untuk membayar hutang, kebutuhan kami saat ini pun
masih sering kekurangan. Sejujurnya, penghasilan ibu perbulan didapat dari upah
mengerjakan ladang tetangga, nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian
kami. Semenjak Ayah pulang menghadap-Nya, ibu memang semakin nampak murung dan
tidak bergairah menjalankan beragam aktivitasnya.
Terlahir
dalam keluarga dengan penuh keterbatasan seperti ini tentunya membuat aku
semakin gigih berjuang. Susah adalah hal biasa yang kutemui. Tantangan demi tantangan
telah banyak aku lewati dalam menempuh pendidikan. Ibuku memang sebagai seorang
buruh di kampung. Banyak orang kampung yang membutuhkan jasanya. Sepengetahuanku,
ibu juga akan menerima semua pekerjaan tersebut selagi dia mampu. Sejujurnya kondisi ini sama sekali tidak menjadi penghalang bagiku
untuk meraih yang terbaik. Saat sekolah di SD, ditengah kemelaratan itu, aku tetap mempertahankan juara kelas
nomor satu. Ketika SMP, prestasi itu pun tetap bertahan. Bahkan selama di
bangku SMA aku tetap selalu menjadi
bintang kelas. Dengan prestasi yang demikian, seringkali aku
mengikuti kegiatan olimpiade sains dan cerdas cermat bersama siswa lain sebagai
perwakilan dari sekolah kami.
Ketika
hendak menamatkan SMA, barulah aku berniat mengukir mimpi yang lebih tinggi,
yaitu hendak melanjutkan kuliah
ke Perguruan Tinggi Negeri. Ibuku setengah setuju terhadap keinginan itu. Mengapa
demikian? Persoalan biayalah jawabannya. Aku sadar akan kondisi yang serba
kekurangan ini, hanya saja keinginan ini semakin hari semakin menguat dan penuh
keyakinan. Peluang beasiswa bidikmisi yang disampaikan Pak Sarijan kala itu
membuat semangatku semakin melejit, menerobos kategori wajar. Pernyatan beliau dikala
kami sedang belajar biologi saat itu terus terngiang di telingaku “Taufik, kamu
adalah siswa yang pandai, bapak sangat yakin kamu bisa sukses, gantungkanlah cita-citamu
setinggi-tingginya. Yakinlah nak, dengan segenap usaha dan kerja kerasmu, kamu bisa
meraih mimpi-mimpimu, memeluk ketidakmungkinan itu” Tutur beliau dengan ambisius.
Aku memang seorang pemburu beasiswa. Semenjak sekolah hampir setiap hari aku
menemui Pak Sarijan, sang guru sekaligus motivator bagiku. Dengan beragam usaha
dan jerih paya, akhirnya kala itu aku pun berhasil meraih beasiswa bidikmisi
yang mana selalu beliau janjikan. Hati ini riang tiada tara, kusampaikan kabar
yang menggembirakan itu kepada ibu. Kulihat betapa wajahnya berseri penuh haru
dan bahagia. Hanya saja, sebenarnya kondisi
ini sempat menghadirkan rasa minder, membuat rasa percaya diriku menyingkir
jauh.
Kuliah
yang selalu berjalan kaki dan tidak mempunyai laptop membuat aku terkadang merasa minder dan rendah
diri. Belum lagi tak sedikit cibiran orang kampung yang memanaskan telingaku,
membuat diri ini sejenak mengabaikan mimpi-mimpiku, sebuah keinginan yang
dianggap orang sebagai ketidakmungkinan. Orang bilang bahwa aku adalah manusia yang
egois dan terlalu memaksakan kehendak, beraninya bermimpi tanpa melihat
keadaan.
Tatkala
perasaan minder itu datang mengusik, aku biasanya menyempatkan diri untuk membaca berbagai buku kisah inspirasi dan kata-kata motivasi
guna membangkitkan rasa
percaya diri dan semangatku untuk belajar.
Aku juga senantiasa menutup telingaku rapat-rapat, menghindar terhadap
kata-kata yang bertujuan menyurutkan semangatku. Setiap di akhir semester, juga
selalu aku kirimkan kabar berbagai prestasiku ke kampung halaman. Ibu sangat bahagia melihatnya. Pernah ia menyampaikan, “sesungguhnya
letih yang ia rasakan saat bekerja tergantikan dengan semangat yang menggebu”.
Keberhasilanku
menjadi pemenang lomba olimpiade matematika tingkat provinsi membuat ibu
senantiasa senyum sumbringah. Belum lagi subsidi beasiswa bidikmisi dari
pemerintah yang cukup membantu. Lagi pula, tak jarang akupun mendapat uang saku
dari kampus atas berbagai prestasi akademik tersebut. Tentunya hal ini membuat
diriku sedikit bisa belajar untuk lebih mandiri.
Selain
itu, momen yang paling membahagiakan adalah ketika aku melihat ibu yang yang
duduk di barisan paling depan saat aku wisuda. Alhamdulilah kala itu aku menjadi lulusan terbaik di kampusku. Ibuku sangat
terharu dengan kenyataan ini. Aku pun benar-benar merasa manusia paling bahagia
kala itu. Bukan sekadar
karena berbagai pencapaiannya, melainkan karena aku berhasil melewati masa-masa sulit itu, berjuang
dengan kerja keras dan penuh semangat sehingga dapat menciptakan kebahagiaan
bagi orang-orang di sekelilingku.
Tiba-tiba
khayalku terhenti, aku terkejut dan tersadar dari lamunan. Kulihat hari mulai
mendung, sang raja siang pun mulai bersembunyi di balik awan. Shuttle bus yang kutumpangi mendadak
berhenti di tujuanku: University College
London, kampus yang kuidamkan sejak dulu. Tanpa kusadari butiran bening pun
menggelayut di pelupuk mata, kemudian jatuh tak terbendung membasahi pipiku.
Aku ingat janji-janjiku kepada ibu bahwa aku akan mempersembahkan ketidakmungkinan
yang sempat kami khayalkan bersama.
Dengan
sigap kembali kupandangi wajah ibu yang kusam dan mulai terlihat menua di balik
sebuah foto pudar ukuran 3 R, hasil jepretan kala aku wisuda sarjana tempo dulu.
Foto tersebut memang selalu tersimpan rapi di dalam tasku sehinga selalu kubawa
kemanapun hendak berpergian. Aku sangat ingat bahwa dahulu ibu belum sepenuhnya
rela melepas kepergiaanku ke luar negeri. Kabar kelulusanku meraih beasiswa untuk
kuliah S-2 ke Inggris tempo hari menjadi bumerang tersendiri bagi ibu. Bahkan
selama empat tahun aku menuntut ilmu ke kota provinsi yang hanya berjarak
beberapa kilo dari desa sudah sangat
membuat ibu resah dan kesepian. Sementara sekarang aku telah melintasi jutaan
kilo, menempuh jarak yang amat jauh.
Sebelum
meneruskan perjuangan ke Inggris, aku ingat betul betapa beragam kalimat pujian
mendatangiku, kesopanan mulai menghampiri, sikap cemooh serta niat meremehkan
pun mulai menyingkir secara perlahan. Yang menghampiriku hanya kalimat-kalimat
pujian serta kesalutan terhadap pencapaian anak tukang penerima zakat, manusia
termiskin di kampong, tempat orang bersedekah, menjadi sumber simpati sekaligus
antipati bagi warga kampung. Barangkali semua orang terkejut, suatu hal yang
tidak mungkin bahwa seorang anak penerima zakat tua rentah yang penuh
keterbatasan bisa melanjutkan pendidikan setinggi itu.
Untuk
kesekian kalinya kembali kutatap dan kubelai wajah ibu di balik foto kusam itu.
Kusampaikan kabar gembira pada foto itu bahwa besok putra kesayangannya akan
mempersembahkan toga yang kedua buat ibu sebagaimana telah ia janjikan. Gejolak
emosiku pun berkecamuk, ingin rasanya meninggalkan Kota London secepatnya. Pikiranku
masih terbebani dengan beragam rasa bersalah.
Aku
sangat menyesalkan, ketika kabar duka itu sampai di telingaku, aku tidak bisa
berbuat lebih kecuali meratap penuh duka. Kesedihan yang kian menggerogoti alam
pikiran dan menetap berkecamuk di hati. Sekitar setahun yang lalu, Pak Sarijan
mengabarkan kondisi ibu yang amat memprihatinkan. Kala itu ibu ditemukan telah
meninggal di gubuk kami, dengan kondisi mengundang air mata bagi siapa pun yang
melihatnya. Tubuh kurusnya nampak kumal dan tak terawat, tergeletak di lantai
tanah gubuk itu. Aku hanya bisa bersedih dari kejauhan.
Kala
itu sangat tidak memungkinkan bagiku untuk pulang ke kampung halaman. Hanya
kidung doa penuh mohon kutitipkan pada Tuhan. Berharap keberlimpahan-Nya tak
putus membersamai ibu. Aku pun mulai menyadari bahwa meraih cita-cita tentunya
membutuhkan pengorbanan. Tugas kita hanya jangan pernah menyerah dalam kedaaan
apapun, tetap semangat, dan lakukan yang terbaik. Aku hanya menitip rindu ini
pada ilahi, berharap ibu bahagia melihat apa yang kuraih saat ini. Dalam hati
aku pun berbisik “Ibu, puteramu telah berhasil memeluk ketidakmungkinan
sebagaimana yang telah kita angankan dan orang lain ragukan“.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar