TUGAS KESUSASTRAAN
ANALISIS HIKAYAT PANJI LARAS
‘SUATU TELAAH STRUKTURAL”
NAMA :
FEBI JUNAIDI
NIP :
1605577
DOSEN :
PROF. DR. YUS RUSYANA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
SEKOLAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
2016
A. IDENTITAS
BUKU
Judul
Buku :
Panji Laras
Penulis :
Yunani
Penerrbit :
PT Citra Jaya Murti
Tahun
Terbit :
1995
Jumlah
halaman : 54 halaman
B. Ikhtisar
Di abad ke 10, sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kahuripan
dipimpin oleh seorang raja yang sangat bijaksana sehingga mencipatakan suasana
kerajaan yang adil dan makmur. Karena cara memimpinnya yang disenangi oleh
rakyat, Prabu Airlangga memerintah kerajaan tersebut hingga ia tua. Di penghujung
kekuasaannya, Prabu Airlangga bermaksud mewariskan tahta Kerajaan Kahuripan
kepada kedua puteranya, yaitu Jayengrana dan Jayanegara. Agar kerajaan tersebut
dapat dibagi secara adil, Sang Prabu meminta bantuan seorang penasehat kerajaan
yang jujur dan sakti, yaitu Empu Baradah. Dengan berbagai cara dan pertimbangan-pertimbangan
Empu Baradah berhasil membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, yakni Kerajaan
Jenggala dan Kerajaan Kediri. Jenggala dipimpin Jayengnara selaku putra sulung
Prabu Airlangga, sedangkan Kediri dipimpin oleh Jayanegara. Sementara, Selain
itu, Prabu AirAngga beserta Isteri pergi bertapa ke Lereng Gunung Penaggungan.
Seperti Ayahnya, Jayengnara dan Jayanegara juga sangat disenangi oleh
rakyatnya.
Di suatu hari, permaisuri Raja
Jayengrana pun mengandung yang mana kemudian melahirkan seorang putera nan
rupawan yang diberi nama Panji Inukertapati. Sementara itu, tak lama setelah
itu permaisuri raja Jayanegara pun melahirkan seorang puteri yang cantik jelita
dan diberi nama Sekartaji. Panji dan Sekartaji sangat akrab. Oleh karenanya,
ketika mereka sudah tumbuh dewasa Raja kakak beradik tersebut menjodohkan
putera-puteri mereka. Panji dan Sekartaji pun sangat senang dan menyetujui hal
tersebut. Kabar perkawanian keduanya menyebarluas ketelinga rakyat. Ketampanan
dan kecantikan mereka pun sanagt dikagumi rakyatnya dan meluas hingga sampai ke
luar wilayah Kediri. Suatu hari, kabar tantang ketampanan Raden Panji sampai ke
telinga raksasa Ni Kadalwerdi, puteri dari Ki Kadalyaksa dan Nyi Kadalyaksi. Mendengar
berita tersebut, Ni Kadalwerdi pun jatuh cinta kepada Raden Panji dan
berkeinginan untuk menjadi permaisurinya. Keinginan ini mengundang orangtuanya
terpaksa melakukan tindakan yang keji.
Agak keinginan Ni Kadalwerdi
terpenuhi, Ki Kadalyaksa menyulap wajah dan tubuh puterinya persis seperti Dewi
Sekartaji. Setelah itu, Ki Kadalyaksa dan Isteri menculik Dewi Sekartaji dan Ni
Kadalwerdi pun datang ke istana Kediri dengan tubuh dan wajah persis seperti
Dewi Sekartaji. Sebenarnya, sebelum kedatangan Ni Kadalwerdi ke istana, kabar
hilangnya Dewi Sekartaji di keputren pun sudah menyebarluas. Hanya saja, ketika
Ni Kadalweri dengan rupa yang persis Dewi Sekartaji datang ke istana, tak
seorangpun yang menaruh curiga.
Di saat Ni Kadalwerdi hidup bahagia
di istana bersama Raden Panji, Dewi Sekartaji terlunta-lunta di hutan belantara
dengan kondisi sedang mengandung. Ketika ia berjalan di tengah hutan, ia
melihat seorang lelaki tua sedang bertapa di dalam goa. Tanpa berpikir panjang,
Dewi Sekartaji pun langsung ikut bertapa di goa tersebut. Hari mulai berganti,
bulan pun demikian, kandungan dewi sekartaji makin membesar. Hingga di suatu
pagi ia dibangunkan oleh lelaki tua tersebut karena kandungannya yang sudah
mendekati waktu melahirkan. Dewi Sekartaji pun diajak lelaki tua itu ke
gubuknya. Ternyata lelaki tua tersebut merupakan seorang pendeta, yaitu Pendeta
Waskita. Ia pun sangat baik dan membantu proses melahirkan Dewi Sekartaji.
Panji Laras, begitulah nama putera
yang dilahirkan oleh Dewi Sekartaji. Panji Laras pun tumbuh menjadi remaja yang
sangat tampan dan cerdas. Hari-harinya ditemani oleh seekor ayam jantan yang
unik, ayam yang didapat Sekartaji di tengah hutan. Kala itu, ayam tersebut
dilempar seekor kera dari atas pohon, kemudian dirawat dan dijagalah ayam
tersebut oleh dewi sekartaji. Keunikan ayam tersebut adalah kokoknya yang merdu
seperti orang sedang bernyayi.
Bak…
bak.. bak…..Kuku ruyuuuukkkk…
Jago
si Panji Laras
Rumahnya
tengah hutan
Atapnya
daun pisang…..
Begitulah suara merdu ayam panji laras saat berkokok.
Keunikan dan kehebatan ayam Panji Laras saat bertarung pun mulai terkenal luas.
Kerajaan Kediri pun kerap mengetahuinya. Di suatu hari, ketika sudah mengetahui
identitas dirinya dari Pendeta Waskita Panji Laras berniat menyabung ayamnya ke
kerajan Kediri. Niat utama kedatangan PAnji Laras sebenarnya ingin bertemu
dengan ayahnya, Raden Panji. Ketika sampai di Kerajaan Kediri, Panji Laras
ditantang oleh PAngeran Muda, yaitu putera Raden Panji dengan Ni Kadalwerdi,
raksasa yang telah menjelma menjadi Dewi Sekartaji. Dengan kehebatan dan
kekuatannya, Ayam Panji Laras pun berhasil mengalahkan seluruh ayam Pangeran
Muda. Bahkan setelah pertarungan ayam tersebut, Pangeran lMuda tidak menerima
kekalahan tersebut karena ia telah menaruhkan seluruh istana kepada Pani Laras.
Sementara Panji telah menaruhkan nyawanya. Setelah pertarugan ayam selesai,
Pangeran Muda pun meneyerang Panji, yakni bermaksud mengahabisi Panji Laras.
Dengan penuh keterpaksaan Panjipun melawan dan berhasil menewaskan Tuan Muda.
Setelah itu, dengan penuh ketakutan Panji Laras pun
lari dengan menggait ayamnya kembali ke gubuknya di kaki Gunung Wilis. Ia takut
dihukum karena telah menewaskan seorang putera raja. Smeentara itu, Raden Panji
sudah semakin curiga kalau panji laras adalah anaknya, sebab wajah mereka
sngatlah mirip. Raden Panji juga mulai curiga kalau pangeran muda bukanlah
anaknya, Dewi Sekartaji yang selama ini tinggal bersamanya pun bukanlah Dewi Sekartaji
yang sesungguhnya. Dengan kesungguhan hati, Raden Panji bersama kedua
pengawalnya berniat mencari Panji Laras. Mereka pun mendengar kokok ayam Panji
Laras di tengah hutan sehingga dapat menemukan gubuk yang menjadi tempat
tinggal Panji Laras . Raden Panji dan para pengawalnya pun mendatangi gubuk
tersebut dan berjumpa dengan kakek pendeta. Raden Panji pun bertanya banyak hal
tentang identitas Panji Laras. Kakek pendeta pun menceritakan kisah mulanya dia
bertemu dengan Dewi Sekartaji. Untuk memperjelas cerita tersebut, Pendeta
Waskita pun memanggil Dewi Sekartaji
yang sedang berada di dapur. Raden Panji pun sangat terkejut melihat kenyataan
itu. Dewi Sekartaji juga demikian. Rasa haru dan bahagia pun menyelimti mereka.
Setelah itu, Raden Panji memohon kepada Pendeta Waskita untuk membawa kembali
Dewi Sekartaji dan Panji Laras untuk kembali tinggal ke istana. Pendeta tua itu
pun mengikhlaskan keprgian Panji Laras dan Dewi Sekartaji.
Kabar kepulangan dan ditemukannya
Dewi Sekartaji akhirnya menyebarluas ke semua rakyat. Ni Kadalwerdi pun
mendengar kabar tersebut. Setelah mengatahui hal ini, Ni Kadalwerdi pun langusng
melarikan diri dari istana. Ia berlari ke tengah hutan dan menemui kedua
orangtuanya. Bukannya mendukung puterinya, Ki Kadalyaksa dan Nyi Kadalyaksi pun
menasehati puteri mereka bahwa tindakan buruk tidak akan pernah mendapatkan
kebahagiaan yang sejati. Selain itu, sebagai hukumannya mereka juga menyuruh Ni
Kadalwerdi untuk bertapa di puncak Gunung Wilis memohon ampunan kepada Tuhan di
sana.
C. Alur
Hikayat ini menggunakan alur kronologis atau progresif.
Dalam plot kronologis, awal cerita benar-benar “awal”, tengah benar-benar
“tengah”, dan akhir cerita benar-benar merupakan “akhir”. Hal ini berarti bahwa
dalam plot kronologis, cerita benar-benar dimulai dari eksposisi, melampaui
komplikasi dan klimaks yang berawal dari konflik tertentu, dan berakhir pada
pemecahan atau denoument (Sayuti, 2000: 57).
Alur dalam hikayat ini dapat diskemakan sebagai
berikut:
Kala itu Prabu Air Langga membagi kerajaan kahuripan
menjadi dua bagian yaitu kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala. Kediri dipimpin
oleh Jayengrana sedangkan Jenggala dipimpin oleh Jayanegara. Suatu hari kedua
kakak beradik tersebut menjodohkan putera dan puterinya, yaitu Raden Panji dan
Dewi Sekartaji. Ketika mereka sudah kawin. Ki Kadalyaksa dan Isterinya menculik
dewi Sekartaji dan membuangnya ke tengah hutan sehingga puteri mereka yang
sudah disulap wajahnya menyerupai Dewi Sekartaji berhasil menjadi permaisuri
Raden Panji dan tinggal menetap di istana Kediri. Bertahun-tahun lamanya raden
Panji tinggal bersama Ni Kadawerdi. Hingga suatu hari mereka dikaruniai seorang
putera. Sementara Dewi Sekartaji masih tetap bertahan hidup dan bertempat
tinggal di Lereng gunung wilis bersama puteranya yang ia beri nama Panji serta
pendeta tua yang sudah menyelamatkan nyawanya. Suatu hari ketika sudah tumbuh remaja,
Panji mendatangi Kediri untuk menyabung ayam dan ia berhasil mengalahkan
ayam-ayam putera raja Kediri serta tanpa sengaja dan penuh keterpaksaan ia juga
menewaskan putera raja tersebut yang saat itu menyerang panji. Setelah
peristiwa tersebut Raja Panji pun mencaritahu keberadaan panji bersama dua
orang pengawalnya. Mereka bertiga pun berhasil menemukan panji di rumah pendeta
tua di kaki gunung wilis. Raja Panji pun bersua kembali dengan sekartaji di
sana dan membawa isteri dan anaknya kembali ke Istana Kediri. Sementara Ni
Kadalwerdi pun melarikan diri dari istana karena mengetahui kabar bahwa Raja
Panji telah menemukan Sekartaji beserta puteranya. Ia kabur ke tengah hutan dan
mengadu kepada orangtuanya. Akan tetapi, kedua orangtuanya pun tidak membela
anak tersebut bahkan mereka menasehati Ni Kadalwerdi bahwa ia telah melakukan
suatu kesalahan.
Berdasarkan uraian di atas, alur dalam hikayat ini
sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum dewi sekartaji
diculik Ki Kadarlyaksa dan sesudah dewi sekartaji diculik Ki Kadalyaksa. Pada
alur bagian pertama sebenarnya tidak terjadi konflik. Alur pada bagian ini
hanya memaparkan bagaimana kehidupan rukun serta kebahagiaan kerajaan Jenggala
dan Kediri. Sedangkan pada alur bagian kedua ceritanya penuh dengan konflik
yang mana dimulai dari dewi sekartaji diculik, dia terlantar di hutan, dan juga
lahirnya putera Kediri yang menyerupai raksasa. Akhir dari alur bagian kedua
ini juga sarat akan nilai moral, yaitu bahwa suatu niat dan perbuatan buruk
tidak akan berakhir indah. Sementara sebaliknya, kesabaran dan ketabahan dalam
menjalani hidup akan berujung manis. Begitu juga halnya dengan kehidupan Ni
Kadalwerdi yang berakhir tak seindah yang ia inginkan, beragam konflik menimpa
dirinya. Mulai dari meninggalnya putera yang sangat ia saying hingga ia harus
menyingkir secara sengaja dari istana Kediri. Di sisi lain, kesabaran dan
keikhlasan dewi sekartaji membawa ia pada kebahagiaan. Kesabaran di sini dibuktikan
dengan kegigihan dewi sekartaji membesarkan anaknya di tengah hutan hingga
belasan tahun. Ia juga tidak tergesa-gesa untuk kembali ke Kediri bahkan
merahasiakan identitasnya kepada puteranya.
D. Pelaku
Pelaku dalam hikayat ini terdiri atas:
1. Raja
Kahuripan, Prabu Airlangga, ayah dari Jayengrana dan Jayanegara
2. Permaisuri
Prabu Airlangga
3. Jayengrana,
putera sulung Prabu Airlangga, ayah Panji Inukertapati, Raja Kediri
4. Permaisuri
Jayengrana
5. Jayanegara,
ayah Dewi Sekartaji, Raja Jenggala
6. Permaisuri
Jayanegara
7. Raden
Panji
8. Dewi
Sekartaji
9. Ni
Kadalwerdi
10. Panji
Laras, putera Raden Panji dan Dewi Sekartaji
11. Pangeran
muda (putera Raden Panji dan Ni Kadalwerdi)
12. Pendeta
Waskita
13. Ki
Kadalyaksa, ayah Ni Kadalwerdi
14. Nyi
Kadalyaksi, ibu Ni Kadalwerdi
15. Jarodeh
dan Prasanta, Pengawal Raden Panji
Berdasarkan
perannya dalam cerita hikayat ini, Dewi Sekartaji, Raden Panji, dan Panji Laras
merupakan tokoh utama. Ketiga pelaku inilah yang terlibat aktif dalam suatu
rangkaian peritiwa yang menjadi unsur cerita. Sementara itu, Ni Kadalwerdi yang
dibantu kedua orangtuanya merupakan sosok tokoh antagonis yang dibutuhkan untuk
menciptakan konflik.
Penokohan dilakukan dengan cara metode diskursif dan
dramatis. Pada metode diskursif pengarang hnaya menceritakan kepada kita
karakter tokohnya. Sedangkan dalam metode dramatis tokoh-tokoh dinyatakan
seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri
mereka sendiri melalui kata-kata, tindakan-tindakan, ataupun perbuatan mereka
sendiri (sayuti, 2000: 90-92).
a. Metode
diskursif
Contoh pemakain metode
ini dalam hikayat Panji Laras adalah sebagai berikut.
“Karena
sangat dicintai rakyatnya, Prabu Airlangga memerintah sampai tua Ia ingin
meletakkan tahta pemerintahannya untuk diteruskan oleh puteranya. Ia mempunyai
dua orang putera yang sangat disayanginya (hlm. 3).”
Dari
kutipan di atas terlihat secara eksplisit bahwa Prabu Airlangga memiliki dua
orang putera. Ia juga sangat dicintai oleh rakyatnya karena kebijaksanaan dan
keadilannya.
“Sebenarnya
Kadalyaksa seorang raksasa yang baik hati, tidak suka mengganggu manusia.
Bahkan ia terkenal sakti dan suka membantu orang. Tetapi karena keinginan
anaknya yang sangat dicintainya maka ia harus melakukan hal yang jahat (hlm.
13).”
Kutipan
di atas juga secara terang-terangan menjelaskan bahwa Kadalyaksa pada dasarnya
merupakan sosok raksasa yang baik hati. Akan tetapi, ia terpaksa melakukan
tindakan jahat atas dasar dorongan puterinya.
b. Metode
dramatis
1. Teknik
naming “pemberian nama tertentu”
Untuk melukiskan gelar
kebangsawanan dalam hikayat ini terdapat gelar khusus seperi prabu, raden,
dewi, pangeran, dan permaisuri. Selain itu terdapat juga penggunaan gelar
penghormatan seperti penggunaan Empu Baradah dan Pendeta Waskita. Empu Baradah
dalam hikayat ini merupakan sosok penasehat Prabu Airlangga yang sangat
dipercaya. Ia juga dikenal dengan kesaktian dan kebijaksanaannya. Sementara
Pendeta Waskita merupakan pribadi yang baik dan taat kepada tuhan.
2. Teknik
pandangan seorang tokoh atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu
Pada teknik ini tokoh
dalam cerita dilukiskan berdasarkan pandagan tokoh yang lain terhadap tokoh
tertentu yang menjadi objek. Beikut contoh penggunaannya yang tedapat dalam
hikayat Panji Laras ini.
“Aku
pernah melihat Raden Panji lewat di jalan itu ketika beliau hendak berburu ke
hutan di sebelah selatan sana”, kata seorang gadis kepada teman-temannya ketika
mereka mencuci pakaian di sungai. Ia menunjuk sebuah jalan menuju hutan tak
jauh dari sungai tempat ia mencuci. Aduh selama hidup aku belum pernah melihat
lelaki setampan itu” katanya bangga (hlm 9).”
Dari
kutipan di atas dapat kita lihat bahwa tokoh lain secara langsung memuji
ketampanan Raden Panji. Ia memberikan suatu pandangan atau pendapat terhadap
tokoh lain, dalam hal ini tentunya Raden Panji sehingga pembaca bisa mengetahui
bahwa tokoh yang bernama Raden Panji dalam hikayat ini merupakan sosok yang dikagumi
karena ketampanannya.
3. Teknik
pelukisan fisik
Teknik
ini juga sering muncul dalam sebuah cerita untuk melukiskan watak dan
sifat-sifat tokoh tertentu. Wujud fisikdapat dinyatakan secara langsung ataupun
melalui mata dan pandangan tokoh lainnya (Sayuti, 2000: 105). Contoh dari
teknik ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Panji Laras heran melihat pangeran
muda yang bertampang raksasa. Tubuhnya besar, perutnya buncit, matanya merah
melotot, giginya besar-besar bertaring panjang. Padahal ia calon raja Kediri (hlm.
30).”
Kutipan
di atas memberitahu para pembaca secara detail mengenai kondisi fisik Pangeran
Muda. Para pembaca menjadi tahu bahwa Pangeran muda merupakan sosok raksasa
yang mengerikan dengan sepasang mata merah, bergigi besar-besar,serta taring
yang panjang.Melalui kutipan di atas para pembaca dapat memvisualisasikan wujud
fisik pangeran muda dengan jelas.
E. Latar
Rangkaian peristiwa dalam hikayat ini terjadi pada
latar yang sangat beragam. Bermula dari kehidupan damai sang Prabu Airlangga di
Kerajaan Kahuripan. Selanjutnya, menceritakan kehidupan Jayengrana dan
Jayanegara di Jenggala dan Kediri. Tidak hanya sampai di sini, beragam pertiwa
lainnya juga pernah terjadi di hutan belantara, daerah Gunung Wilis, lingkungan
kerajaan, gubuk di tengah hutan, di pedesaaan, dan sebagainya.
Selain itu, waktu dan suasananya pun variatif. Dimulai
dengan suasana yang membahagiakan, yaitu ketika Raden Panji dan Dewi Sekartaji
hidup bahagia bersama di Kerajaan Kediri. Namun, suasana yang mengharukan pun
kerap terjadi, contohnya saja ketika Dewi Sekartaji terdampar sendirian di
hutan belantara setelah diculik oleh Ki Kadalyaksa. Hal ini juga sama halnya
ketika Panji Laras menjadi bahan olo-olokan orang kampong ketika ia tidak tahu
nama ibu dan ayahnya.
F. Tema
Pokok permasalahan dari hikayat ini adalah mengenai
cinta dan kesabaran. Kedua aspek ini merupakan unsur penting dalam terjadinya
serangakaian peristiwa yang ada. Cinta di sini mengenai cinta orangtua terhadap
anaknya, cinta sepsang suami isteri, dan bahkan cinta terlarang tokoh lain
terhadap tokoh tertentu. Cinta dalam hikayat ini dapat menumbuhkan kebahagian
serta juga bisa mengundang seseorang untuk melakukan kejahatan seperti halnya
perbuatan Ni Kadalwerdi terhadap Dewi Sekartaji.
Sementara itu, kesabaran dalam hikayat ini terlukis
pada watak Dewi Sekartaji ketika ia diculik Ki Kadalyaksi dan didamparkan
kehutan belantara. Ia tetap ikhlas dan sabar berjuang membesarkan Panji Laras
hingga tumbah remaja. Di sisi lain, sikap sabar juga tercermin pada karakter Ki
Kadalyaksa dan Nyi kadalyaksi ketika mengetahui puteri kesayangan mereka
menyingkir dari istana Kediri. Mereka menyadari keslaahan-kesalahan yang telah
diperbuat dan bahkan mereka meminta puterinya untuk bertobat atas kesalahan tersebut.
G. Nilai
Hikayat ini sangat sarat dengan nilai moral, sosial,
dan edukasi. Hikayat ini mengajarkan kepada para pembaca bahwa sosok orangtua
harus berlaku adil terhadap anaknya. Hal ini sebagaimana tercermin pada sikap
Prabu Airlangga dalam membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Selain
itu, sikap rukun serta saling mendukung antarsaudara juga dicerminkan pada
hangatnya hubungan antara Jayengrana dan Jayanegara.
Sementara itu, nilai sosialnya tergambar pada sikap
Pendeta Waskita yang dengan ikhlas membantu Dewi Sekartaji ketika tersesat di
hutan. Bahkan Dewi Sekartaji pun hidup bersamanya selama belasan tahun sehingga
ia sudah menggap Pendeta Waskita sebagai ayahnya. Tidak hanya itu, ketulusan
dan besarnya sikap sosial Pendeta Waskita juga terlukis ketika ia dengan senang
hat menjaga dan membesarkan Panji Laras.
Selanjutnya, nilai edukasi dalam hikayat ini
tergambarkan pada sikap Ki Kadalyaksi dan Nyi Kadalyaksi yang tidak geram
ketika mengetahui puterinya pergi meninggalkan kerajaan Kediri. Bahkan mereka
dengan bijak menasehati anaknya kalau ia sudah menempuh tindakan yang buruk
sehingga sesuatu yang wajar kalau kehidupannya berakhir tidak bahagia. Di
samping itu, mereka juga meminta puteri agar memohon ampun kepada Tuhan atas
segala perbuatannya selama ini dengan cara bertapa ke puncak Gunung Wilis.
H. Sikap
pengarang terhadap kehidupan
Berdasarkan tema dan alur yang diceritakan, dapat
diketahui yang menjadi keyakinan pengarang yaitu bahwa suatu percintaan dan
kehidupan rumah tangga tentunya akan menemui banyak rintangan yang mestinya
dihadapi dengan kesabaran. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan Raden Panji dan
Dewi Sekartaji yang mengalami permasalahan yang begitu rumit namun dengan
kesabaran dan keikhlasan semua dapat berakhir bahagia.
I. Tipe
Hikayat
Hikayat Panji Laras dapat dikategorikan dalam hikayat
sejarah, sebab hikayat ini menggambarkan suatu kehidupan di lingkungan kerajaan
di masa lampu. Hal ini dapat dilihat dari latar yang digunakan, penamaan
tokoh-tokoh, serta kisah yang diceritakan memuat akan asal asul serta
seluk-beluk kehidupan Kerajaan Kediri di masa lampau. Selain itu, berdasarkan
isi ceritanya hikayat ini juga dapat digolongkan dalam hikayat jenis rekaan karena
mengandung usur-unsur yang bersifat fiktif.
Sumber:
Sayuti,
Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa
Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Yunani.
1995. Panji Laras. Surabaya: PT Citra
Jaya Murti.