Kurikulum Baru
2013
Ketika kita mengetahui isu seputar
akan diterapkannya kurikulum baru 2013, menggiring kita pada ruang kontroversi.
Menurut saya perubahan kurikulum pada hakikatnya merupakan suatu yang lumrah,
dan semua tentunya mengarah pada perbaikan. Ketika saya mengikuti Seminar
nasional tentang kurikulum baru se-Indonesia yang diikuti oleh mahasiswa FKIP
se-Universitas yang ada diIndonesia. Mereka begitu tertarik untuk membahas
mengenai kurikulum baru ini. Jika dilihat lebih intens kurikulum baru
ini mengaitkan antara Ada anggapan, kurikulum baru ini lebih berlatar belakang
politis ketimbang mengedepankan konseptual fundamental pendidikan yang
berorientasi jangka panjang untuk menjawab tantangan zaman dan pergaulan
global. Anggapan lainnya, kurikulum ini hanya sekedar mengejar target
penuntasan kinerja dari pemerintah sebelum Pemilu 2014. Pergantian kurikulum
seakan menjadi hal biasa setiap kali pergantian menteri. Tanggapan masyarakat
pun beragam, terbelah antara pro dan kontra, optimis dan pesimis memandang
kurikulum baru ini.
Pada dasarnya pendidikan yang baik
itu tergantung bagaimana murid belajar sebagai sebuah proses memaknai
pengalamannya sehari-hari. Proses memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan
oleh perubahan sikap dan praktek kehidupan sehari-hari yang diteladankan guru
dan dibudayakan di sekolah. Sesederhana ini sebenarnya apa yang bisa kita
harapkan dari pendidikan. memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, bukan
untuk menjuarai lomba-lomba sains, atau lulus Ujian Nasional.
Perbaikan mutu pendidikan ini dengan
demikian sesungguhnya tergantung pada kualitas guru dan budaya sekolah di mana
murid mengalaminya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekedar
menjelang ujian-ujian. Jika kualitas guru seburuk saat ini, dan budaya sekolah
sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti kemandirian
dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari.
Sekolah menjadi ladang pembantaian inovasi, tempat yang pengap bagi beragam
ekspresi multi-ranah multi-cerdas murid-muridnya. Yang kita butuhkan saat ini
adalah perubahan guru dan budaya
belajar. Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang
tidak mudah diintimidasi oleh siapa pun. Pembinaannya harus dilakukan oleh
organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak boleh dipandang
lebih sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman
pada kode etik guru.
Budaya belajar dapat dikembangkan
dengan sederhana. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan
layanan perpustakaan yang baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses
internet yang memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian hargai pengalaman dan
praktek murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya
menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya belajar di
sekolah dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid belajar, bukan sekedar
tempat guru mengajar, dan statistik kelulusan ujian diukur untuk kepentingan
birokrasi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini sebenarnya sudah
cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten yang berani
secara kreatif merancang proses pembelajaran yang paling sesuai bagi
murid-muridnya.
Di sisi lain, perubahan kurikulum sebenarnya
adalah hal yang wajar karena zaman yang senantiasa berubah. Namun, tindakan
reaktif pemerintah melakukan perubahan kurikulum pasca petaka moral dan sosial
yang menimpa dunia pendidikan akhir-akhir ini, seakan menempatkan kurikulum
sebagai biang keladinya. Sejumlah kalangan menilai tindakan ini kurang
bijaksana dan terlalu memperturutkan kepentingan politis sesaat, pun tidak
didasari atas sebuah penelitian dan kajian komprehensif tentang layak tidaknya
kurikulum sebelumnya. Alangkah baiknya, jika setiap kebijakan dan keputusan
dikaji terlebih dahulu melalui penelitian mendalam oleh pemerintah sehingga
langkah perubahan itu dapat diterima dalam nalar ilmiah dan logika.
Di lain pihak, kurikulum baru ini
dianggap memiliki keunggulan karena lebih mengedepankan keseimbangan soft
skills dan hard skills. Selain itu, simplifikasi mata pelajaran
(mapel), menjadi harapan orangtua yang selama ini ikut merasakan beban berat
anaknya akibat banyaknya mapel. Muatan kurikulum baru berbasis pendidikan
karakter, juga dinilai sejalan dengan tuntutan masyarakat tentang urgensitas
pengembangan kepribadian siswa sebagai manusia seutuhnya yang unggul dan
berakhlak mulia. Terlepas dari itu semua, perlu disadari bahwa perubahan
kurikulum tidak selalu menjamin peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, ada
banyak pekerjaan lain yang menuntut harus diselesaikan.
Penting diingat, apapun kurikulum
yang akan diberlakukan, guru memiliki peran vital dalam penjabaran kurikulum
tersebut di sekolah. Guru adalah ujung tombaknya. Jika guru tidak memahami
konsep kurikulum baru ini dengan baik, tujuan pendidikan akan sulit dicapai.
Tentu saja, optimalisasi peran guru harus menjadi titik tekannya. Karena pada
praktiknya, guru lah yang akan menerjemahkan kurikulum ini secara langsung di
ruang-ruang pembelajaran. Acapkali terjadi, kurikulum yang unggul menjadi
mandul karena pemahaman dan penguasaan guru terhadap kurikulum yang tumpul.
Di samping itu, kita juga harus
tetap berbaik sangka, kurikulum baru yang diramu oleh para pakar pendidikan itu
akan menumbuhkan kembali harapan bagi masa depan pendidikan yang jauh lebih
baik. Silang pendapat dari berbagai kalangan tentunya akan menemukan muara
kebenarannya pasca penerapan kurikulum baru ini nantinya. Tak ada yang
benar-benar sempurna di dunia ini. Kepedulian akan nasib pendidikan bangsa lah
yang menuntut para pendidik untuk bersuara, entah itu sepakat atau tidak. Yang penting,
kita sudah melakukan hal terbaik dalam ibadah akademis kita sebagai pendidik.
Insyaallah!